Kasih ibu selamanya abadi, tak tergantikan oleh apa pun. Seorang ibu tidak akan pernah mengharap apa-apa dari anaknya, selain bisa melihat anaknya bahagia dan sukses dalam hidupnya.
Ketika seorang ibu melihat anak-anaknya sengsara dan membutuhkan pertolongan, kekuatan nalurinya akan mengalir dengan sendirinya. Dengan segala upaya, semua kemampuan akan ia lakukan untuk menolong anaknya.
***
Februari 2019
“Ayo! Coba bilang susu, lihat Bunda! Bilang susu dulu. Jangan nangis Aksara, Sayang!”
“Huaaaaa….” Aksara masih tetap tantrum nangis sambil guling-guling di lantai.
Ya Allah, rasanya hati ini sudah lelah sekali menghadapi tantrumnya Aksara. Sudah berulang kali aku mengajari Aksara untuk mengucapkan kata “Susu” jika ia ingin meminta susu seperti sekarang.
Pagi ini dia terbangun dan menarik-narik ujung dasterku. Dia ingin meminta sesuatu karena sedari tadi ia hanya mengoceh dengan bahasa yang tidak kumengerti sambil menunjuk kaleng susu yang terletak di atas meja makan. Akhirnya aku mengerti kalau dia ingin aku buatkan susu seperti biasa. Akan tetapi, aku berusaha untuk tidak memberikannya sebelum dia mengatakan “susu” terlebih dahulu. Begitu yang diajarkan oleh terapis Aksara.
Menangislah Aksara karena aku tidak segera memberikannya apa yang dia mau. Menangis uring-uringan sampai guling-gulingan di lantai. Teriris rasanya mendengar tangisan Aksara tanpa henti. Tidak tega sebenarnya melihat Aksara tantrum begitu, tapi aku harus melakukan itu demi kemajuannya. Maafkan Bunda, Sayang.
“No. Bilang dulu su… su…, ayo bilang susu dulu!”
“Huaaa….”
“Duh! Kenapa ribut pagi-pagi begini? Aksara kenapa lagi, Wid?” Ibu Mertua datang dengan wajah masamnya, beliau pasti terganggu dengan suara tangisan Aksara.
“Nanana… nanana….” Aksara makin menjadi tantrumnya melihat Omanya datang.
Aksara berlari mendekati Ibu Mertua dana melakukan hal yang sama, yaitu menarik-narik ujung baju untuk meminta dibuatkan susu seperti keinginannya. Menangis dan bersikap manja, begitulah jurus andalan Aksara jika aku tidak memberikan apa yang ia minta. Ibu mertuaku ini tidak tega bila melihat Aksara menangis seperti ini dan langsung digendongnya.
“Aksara mau susu? Iya?” Ibu Mertua bergegas mengambil paksa botol susu dari tanganku dan membuka kaleng susu itu. “Anak minta susu sampai nangis guling-guling gitu kamu biarin, Wid? Mbok yo dikasih saja,” tegur Ibu Mertua.
“Widya memang sengaja nggak memberikan Aksara susu sebelum ngomong susu dulu, Bu. Agar Aksara bisa belajar bicara, jadi nggak kebiasaan kalau minta apa-apa dengan nunjuk-nunjuk.” Aku mencoba untuk membela diri.
“Halah! Kamu itu selalu saja nurutin apa kata terapis itu. Sudah Ibu bilang berulang kali, nanti Aksara juga bisa ngomong, kok. Hanung juga dulu bisa ngomong pas umur empat tahun. Sekarang lihat Hanung, sudah menjadi manajer. Kamunya aja yang lebay.” Ibu Mertua langsung membawa Aksara menjauh dariku.
Setelah Ibu Mertua beranjak dari dapur, air mataku kembali tumpah. Entahlah, akhir-akhir ini diriku menjadi lebih sensitif dari biasanya. Mungkin sejak Aksara didiagnosa seperti itu aku mudah menangis, apalagi kalau sudah mendengar ucapan nyelekit seperti itu pasti langsung mewek.