Ibu adalah perempuan pertama, perempuan utama anaknya. Usahanya tak pernah surut untuk terus berjuang demi keberhasilan hidup anaknya. Sedihnya, deritanya, dan sakitnya tidak pernah ia tunjukkan agar anaknya merasa nyaman dengan keadaan. Cintanya sejak mengandung anaknya, membuat ibu menjadi perempuan yang harus terus melindungi anaknya hingga menjadi manusia yang berguna.
Kebanggaan seorang ibu bukan saat melihat anak-anaknya menjadi orang penting dan besar dengan segala jabatan serta sekian kekayaannya. Namun, terlebih pada apa yang sudah dilakukan anak-anaknya untuk mendapatkannya. Perjuangan!
***
12 Maret 2019
“Wid? Jangan lupa cek kompor dan tutup jendela dapur! Sekalian sampah di dapur dibuang juga. Ibu nggak mau pulang-pulang malah nyium sampah,” titah Ibu Mertua dari arah ruang tamu.
“Iya, Bu,” seruku saat baru saja selesai berhias di kamar.
Pagi ini kami hendak menghadiri acara lamaran sekaligus arisan keluarga besar Mas Hanung di Depok. Kehebohan bahkan sudah terjadi selepas subuh tadi. Zahra dan Zaskia berebut kamar mandi, Mbak Hesti sibuk mencari bros mewah oleh-oleh dari Kupang, sedangkan Ibu Mertua sibuk di ruang keluarga membenarkan sanggulnya yang selalu miring.
Sementara Mas Hanung sedang memanaskan mobil di garasi. Kami akan pergi mungkin sampai malam kami baru akan pulang. Aku sudah selesai berhias dan berjalan ke arah dapur untuk mengecek kompor dan jendela. Tak lupa sampah sudah aku buang. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh.
“Aksa! Aksara! Bu? Apa Ibu melihat Aksa? Widya sudah cari-cari sedari tadi nggak ketemu.”
“Lha? Kamu gimana, sih. Masak anak sendiri nggak tahu dimana. Coba cari lagi, sebentar lagi kita mau berangkat.” Ibu Mertua kesal menatapku.
Kemana menghilangnya Aksara? Setiap sudut rumah sudah aku cari namun tidak ketemu juga. Percuma saja aku memanggilnya, Aksara belum bisa merespon saat ku panggil. Masalahnya, bukan kali ini saja dia menghilang di rumah sebesar ini. Beberapa kali Aksara menghilang dan ditemukan di sudut rumah yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Rumah peninggalan almarhum Ayah Mas Hanung memang besar. Terdapat dua kolam besar yang terletak di halaman depan dan belakang rumah ini. Tapi, saat aku mengecek di dua tempat itu, tidak ada tanda-tanda Aksara di sana.
Saat aku hendak mengecek ke bagian samping rumah, aku melihat Zahra dan Zaskia sedang sibuk di ruang keluarga. Coba aku tanyakan pada mereka, mungkin saja mereka tahu keberadaan Askara.
“Zahra? Zaskia? Apa kalian melihat Aksara? Tante sudah muter-muter nyariin dia nggak ketemu juga. Siapa tahu kalian lihat.”
“Tadi, sih, aku lihat Aksara, Tante. Dia berlari sambil memegang sesuatu,” jawab Zahra.
“Iya, Tante. Kia juga lihat Aksa lari-larian sambil pegang lipstik Mama yang hilang. Aku pikir Aksa mau kembaliin ke Mama, karena dia lari ke arah kamar Mama,” sahut Zaskia juga.
“Oh, gitu, ya? Makasih sudah ngasih tahu Tante. Tante mau ngejar Aksa dulu.”
Kata mereka Aksara berlari sambil bawa lipstik milik Mbak Hesti? Seingatku Mbak Hesti memang sedang kehilangan lipstik kesayangannya. Satu rumah heboh waktu itu, karena lipstik itu hadiah pernikahannya dengan Mas Anang oleh-oleh dari Paris. Sudah di cari sampai ke tiap sudut rumah lipstik itu tidak juga ketemu. Lalu sekarang, mereka bilang Aksara membawa lipstik Mbak Hesti?
Tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikiranku. Kapasitas otakku yang tidak seberapa ini mulai menganalisa kemungkinan yang bisa saja terjadi. Jangan-jangan Aksara membawa lipstik itu tidak mengembalikannya kepada Mbak Hesti.
***
“Ya Allah! Aksara!”
Aku terkejut mendengar suara Mas Hanung seperti itu. Bergegas aku mengambil langkah seribu.
“Ada apa, Mas?”
“Kenapa teriak-teriak, Hanung?”
Aku dan Ibu Mertua terkejut begitu melihat pemandangan di depan kami. Ibu Mertua bahkan sampai menutup mulut dengan telapak tangannya saking terkejut melihat kondisi mobil Mas Hanung. Bagaimana dengan Mas Hanung? Mas Hanung lebih terkejut lagi, ia meringis sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.
“Ada apa ini? Pagi-pagi kok sudah ribut? Ya Allah!” Aku langsung menoleh ketika Mbak Hesti muncul di belakangku. Dia pun sama terkejutnya dengan kami.
Di depan mata kami semua, Aksara dengan santainya membuat “maha karya” di body mobil minibus berwarna putih milik Mas Hanung. Habis sudah sisi bagian mobil itu berwarna merah karena ulah Aksara. Tunggu dulu, warna merah?