Hadirnya Aksara di tengah-tengah keluarga kecil kami adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan. Aksara benar-benar mengajari kami makna kesabaran dan keikhlasan yang sesungguhnya. Meski dalam proses penerimaannya sangat berat dan butuh ketegaran hati.
Kalau boleh memilih, Aksara juga sebetulnya tidak ingin dilahirkan dengan kondisi seperti ini. Dia juga pasti ingin hidup normal seperti anak lainnya. Dan aku yakin, Allah pasti punya rencana mengapa kami diberi anugerah malaikat kecil seperti Aksara.
Aku hanya manusia biasa. Terkadang aku bisa kuat menghadapi segala macam ujian hidup yang menerpaku, terkadang aku juga mengalami titik terendah dalam hidup. Banyak yang bilang kalau hadirnya Aksara adalah buah dari dosa-dosaku di masa lampau. Lantas, sebesar apa dosaku sampai Tuhan menitipkan Aksara pada kami? Kalau memang dosa-dosaku melebihi tingginya gunung, mengapa mereka yang bermaksiat dan menumpuk dosa tidak mendapatkan cobaan sepertiku?
Pergolakan batin seperti itulah yang terkadang menyurutkan semangatku, selalu menyalahkan diri karena kondisi Aksara yang seperti ini. Apa sehina inikah diriku? Apa benar kata Ibu Mertua bahwa keadaan Aksara karena faktor keturunan dariku? Pertanyaan seperti itu selalu terngiang-ngiang di dalam pikiranku.
Aku sadar diri, bahwa aku memang berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Aku hanya lulusan SMA dan Ayahku sudah meninggal saat masih kecil. Aku anak ke tiga dari lima bersaudara. Kedua kakakku sudah menikah dan hidup merantau di luar pulau jawa, sedangkan dua adikku masih kuliah. Hanya Ibu satu-satunya orangtua yang ku punya di dunia ini.
“Jangan bicara seperti itu, Wid. Setiap anak yang dilahirkan memiliki keistimewaan masing-masing. Dan setiap anak tidak bisa memilih dari rahim mana dia akan dilahirkan. Karena rezeki, maut, dan kelahiran sudah menjadi ketetapan Ilahi. Tugasmu dan Hanung adalah bagaimana menjalankan tanggung jawabmu atas titipan yang Allah berikan.,” ujar Ibu memberi wejangan saat aku menelponnya melepas rindu.
Posisi Ibu yang saat ini tinggal menetap di Kalimantan membuatku tidak bisa untuk sering-sering pulang kampung. Jika merindukan sosoknya seperti sekarang ini, satu-satunya cara untuk mengobati rasa rindu ini adalah dengan menelponnya.
“Tapi, bagaimana caraku menghadapi omongan orang-orang nantinya tentang kondisi Aksara? Bagaimana kalau Aksara dijauhi teman-temannya? Widya belum siap melihat Aksara diperlakukan seperti itu,” ucapku penuh kekhawatiran.
Aku bisa merasakan bahwa Ibu di sana sedang membuang napas. Bahkan aku bisa merasakan hangatnya napas Ibu.
“Widya… anak Ibu yang cantik. Ibu paham dan mengerti bagaimana keresahan hatimu saat ini. Pasti berat bagimu dan Hanung menghadapi kenyataan ini. Tapi percayalah, Allah menghadirkan Aksara di tengah-tengah kalian karena kalian mampu. Tidak semua orang mendapatkan anugerah seperti kalian. Jika ada yang berkata kurang mengenakkan biarkan saja, karena orang lain hanya terbiasa melihat hasilnya bukan pada prosesnya. Rawatlah Aksara dengan baik, karena dia adalah ladang pahala untukmu dan Hanung.”
***
1 April 2019
Perkembangan Aksara sejauh ini sedikit demi sedikit mulai terlihat. Saat dia meminta susu, dia sudah tidak merengek seperti dulu lagi. Dia sudah bisa menyebut “susu” dan memanggilku “nana” alias Bunda. Tidak apa-apa, pelan-pelan nanti dia mulai bisa berkata yang benar. Aku juga tidak memaksakannya untuk segera bisa, karena semua butuh proses.
Ada satu hal yang beda dari Aksara, dia sangat suka menonton televisi. Apalagi serial kartun dari negeri tetangga, Malaysia, Upin dan Ipin. Dia betah berada di depan layar datar itu berlama-lama. Sudah aku coba untuk menjauh tapi dia tetap saja dia kembali menonton di depan tv. Kalau aku larang dia pasti tantrum luar biasa. Memang, dari dokter dan terapis Aksara menganjurkan untuk membatasi atau mengurangi pemakaian screen time.
“Dek? Nanti sore kamu dan Aksara siap-siap, ya?”
“Mau kemana, Mas?” tanyaku sambil menyiapkan baju kerja.
“Kantor Mas ada acara ulang tahun perusahaan. Para karyawan diperbolehkan membawa keluarga. Jadi, Mas mau ajak kamu dan Aksara,” jawab Mas Hanung seraya membelai rambut panjangku.
“Oh, ulang tahun perusahaan, ya?” tanyaku mengulang ucapannya.
“Ada apa? Kenapa wajahmu murung begitu? Kamu sakit?”
Mas Hanung memegang pipiku dan perlahan mengangkat dagu sehingga mendongak menatap matanya.