Dua minggu pertama setelah dokter memvonis Aksara menderita autis, aku dan Mas Hanung memilih mengurung diri di rumah. Mas Hanung keluar rumah hanya untuk berangkat dan pulang kerja saja. Merenungi kenyataan yang terjadi bahwa ternyata Aksara lahir ke dunia dengan membawa sesuatu yang khusus dalam dirinya. Aksara lahir tidak seperti yang kami bayangkan… sebelumnya.
Terkadang tanpa aku sadari, air mata ini tumpah begitu saja sambil bermunajat kepada Sang Pemilik Kehidupan. Apakah sama antara doa dan air mata? Apakah rintihan serupa dengan pujian bagi Sang Khalik?
***
Wajah kami basah oleh air wudhu beberapa menit sebelum adzan Subuh. Aku dan Mas Hanung sudah melewati beberapa rakaat shalat tahajud. Kali ini, doa yang kami panjatkan lebih panjang, lebih dalam, dan lebih fokus. Doa ini untuk Aksara.
“Engkau titipkan malaikat kecil ini pada kami, Aksara Pratama. Dengan kondisi berbeda dengan anak lainnya. Kami sadar bahwa Aksara adalah milik-Mu ya Allah. Izinkan kami bermohon kepada-Mu agar jalan hidup Aksara sesuai dengan harapan-Mu ya Rabb.
Anak kami, Aksara… hamba-Mu ya Allah. Engkaulah pemilik makhluk yang Maha Sempurna, bimbinglah kami dalam mengasuh dan membesarkannya, dengan segala kekurangan dan yang kami miliki sebagai makhluk-Mu. Anak kami Aksara…, ciptaan-Mu ya Allah. Bantulah kami dengan kekuatan-Mu, agar hati dan jiwa kami tidak pernah kecil menjalani setiap waktu bersamanya ya Rabb.”
Setelah selesai shalat subuh, aku mencium punggung tangan Mas Hanung.
“Maafkan aku yang tidak sempurna melahirkan Aksara, Mas.”
“Sttt…, jangan pernah kamu mengatakan itu lagi. Allah telah menakdirkan kita menerima amanah-Nya yang sempurna. Mungkin mata kita yang belum mampu menangkap kesempurnaan anak kita. Kita harus kuat, Dek. Agar Aksara juga menjadi anak yang kuat, Sayang.” Mas Hanung membisikkan setiap kata dengan sepenuh hati, lalu mengakhirinya dengan kecupan lembut di kening.
Aku tidak bisa menahannya lagi, tangisanku pecah. Tak mampu lagi untuk berkata-kata, yang ada hanya tangis pilu seorang ibu yang terpukul menerima kenyataan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
***
20 April 2019
“Mas? Sudah tiga hari ini Aksara demam tinggi. Sudah aku berikan obat penurun panas, tapi nggak turun-turun juga, masih sekitar 38 derajat. Kasihan dia, lemas sekali karena nggak mau makan dan minum. Bagaimana kalau kita bawa ke rumah sakit saja. Aku takut Aksara kejang lagi."
Mas Hanung yang baru saja pulang dari kantor langsung memegang kening Aksara menggunakan telapak tangannya. “Ya Allah panas sekali. Kamu jangan bicara gitu, pamali, nanti jadi kenyataan. Berdoa saja yang baik-baik semoga hal itu tidak terjadi. Ya sudah, sekarang kita bawa ke IGD saja biar langsung ditangani.” Aku mengangguk dan bersiap-siap untuk ke rumah sakit selagi Mas Hanung mengganti baju kerjanya.
Sudah tiga hari ini Aksara demam. Badannya pun lemas karena karena tidak mau makan dan minum. Inilah salah satu kendala yang aku rasakan tatkala Aksara sakit seperti ini. Dia belum bisa mengungkapkan bagian mana yang sakit.
Ada satu hal yang membuat ketakutan dan kecemasan muncul dan berharap itu tidak datang lagi. Bagaimana kalau Aksara kejang? Bagaimana kalau aksara di rawat lagi? Sedangkan Aksara sangat takut dengan jarum suntik. Pertama kali Aksara dirawat di rumah sakit saat dia pertama kali mengalami kejang di usia tepat setahun. Kala itu Aksara histeris dan meronta-ronta saat perawat hendak memasang selang infus. Butuh lima orang perawat untuk memegang tubuh Aksara agar tidak berontak. Lalu, bagaimana dengan sekarang?
Syukurlah Mas Hanung bisa pulang cepat atas permintaanku. Kalau tidak, aku akan pergi dengan siapa? Sementara Ibu Mertua sedang berada di luar kota.
“Aksara, Sayang, kita berobat ke rumah sakit, ya? Biar Aksara cepat sembuh.”
“Nanana… nonono,” ucap Aksara dengan bahasanya yang khas.
“Ya Allah, badannya panas sekali. Sembuhkanlah anak hamba, ya Allah.”
***
Sambil mengompres kening Aksara, kami bergegas secepatnya ke rumah sakit yang tidak jauh dari rumah kami. Aksara masih lemas tertidur. Bibirnya merah sekali karena demam tinggi. Padahal, obat penurun panas sudah aku berikan setiap empat atau lima jam. Tapi, demamnya tidak juga turun.