Di hari sabtu ini, seperti biasa, aku dan Mas Hanung mengajak Aksara bermain sepeda di sekitar rumah. Ya, sepeda baru roda empat. Alhamdulillah kemarin Mas Hanung membelikan Aksara sepeda baru hasil dari jualan dimsum. Sedangkan Samudera sedang tidur di kamar. Tapi, itu tidak lama kemudian Aksara minta pulang dan masuk ke dalam rumah. Sementara aku dan Mas Hanung sedang ngobrol di depan pagar.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Mbak Hesti keluar sambil menggendong Samudera yang sudah bangun tidur. Akhirnya aku mengambil Samudera dari gendongan Mbak Hesti dan membawanya berjalan-jalan. Tapi, aku merasa ada yang aneh dengan Samudera. Apakah mataku yang salah lihat? Karena aku melihat ada beberapa helai rambut di baju Samudera.
“Mas? Rambut Samudera kok aneh, deh, kayak pitak gitu. Perasaan tadi tidak begitu,” tanyaku.
“Masa, sih?” tanya Mas Hanung tidak percaya, lalu mendekatiku untuk melihat rambut Samudera.
Ketika kami sedang memeriksa rambut Samudera, tiba-tiba Aksara ke luar rumah. Dalam hati pun bertanya-tanya, wajah Aksara juga kelihatannya ada yang berubah, kayak ada yang beda. Aku memegang dan memperhatikan mukanya. Alhamdulillah semuanya masih normal tapi, tetap saja ada yang beda.
Mata kami terbelalak dan spontan mengucapkan istighfar bersamaan.
Ternyata rambut Aksara dan Samudera pitak alias botak yang tidak beraturan. Aku langsung bergegas menuju ke kamar, berusaha mencari jejak siapa tahu ada rambut bekas Aksara gunting. Benar! Tidak salah lagi! Potongan rambut berserakan di lantai. Kamar sudah seperti salon, banyak bekas gunting rambut.
Bagaimana perasaanku? Campur aduk antara mau marah tapi tidak bisa. Apa yang dilakukan Aksara sukses membuat hatiku kalang kabut, yang bisa ku lakukan hanya tersenyum dalam hati. Syukurlah Samudera tidak kenapa-napa.
Dengan nada yang pelan aku bertanya, “Aksa? Kamu gunting rambut sendiri?”
“Unting… Nda. Mbut… Sa… unting… Dede,” jawab Aksara dengan bahasanya komplit dengan senyum polosnya.
Aku menarik napas sembari tersenyum, berusaha untuk menahan emosi. Padahal dalam hati sudah gregetan. Perlahan aku menasehatinya, tentu dengan bahasa yang dimengertinya.
“Ya Allah… Aksa sayang… lain kali tidak boleh. Gunting tajam, nanti kamu dan dede terluka.”
“Luka?” tanya Aksara. Matanya yang bulat selalu membuatku terpesona.
“Iya, luka dan berdarah. Itu tidak boleh.” Aku tersenyum sembari membelai rambut hitam tebalnya. Entah dia mengerti atau tidak, setelah aku mengatakan itu dia kembali bermain. Ah, Aksara… kau sangat menggemaskan sekali.
Sore hari, kami memutuskan untuk membawanya ke tukang cukur, tentu saja dengan drama-drama yang Aksara buat.
***