Karena kejadian semalam, Aksara tidak bisa diam atau hiperaktif lagi. Dia sudah menghabiskan tiga cup puding cokelat. Otomatis aku harus kembali mengulang dietnya. Ibu Mertua juga ikut mengeluh dengan sikap Aksara pagi ini. Beliau tidak bisa konsen mengaji karena Aksara mondar-mandir di dalam rumah.
“Aduh! Aksara kenapa nggak bisa diam begini, sih? Oma mau ngaji keganggu terus. Widya! Coba kamu ajak Aksara main dulu!” seru Ibu Mertua dari dalam kamar.
Aku yang sedang menyuapi Samudera mau tidak mau mengambil Aksara dan mengajaknya main di halaman depan sambil menyuapi Samudera. Mas Hanung pagi ini ke pasar untuk membeli bahan dimsum, ada pesanan sore ini. Jadi, aku yang menemani mereka berdua bermain.
Samudera aku letakkan di stroller dulu sebelum aku mengajak Aksara ke halaman depan.
“Ayo, Aksa! Kita main di luar, Yuk! Oma sedang mengaji, jangan mengganggu.”
“Jangan mengganggu.” Aksara mengulang apa yang kukatakan.
“Iya. Kita main di depan, ya?”
“Kita main di depan, ya.” Aku langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir Aksara agar tidak mengulang apa yang sudah kita tanyakan.
Agak susah untuk mengajak Aksara bermain ke halaman depan. Dia bersikeras untuk bermain dinosaurus di depan kamar Oma-nya. Aku tersenyum dalam hati, mungkin Aksara ingin bermain dengan neneknya. Tapi, saat ini Ibu Mertua sedang tidak ingin bermain. Dengan berat hati dan sekuat tenaga aku memindahkan sekumpulan dinosaurus itu ke halaman depan. Aksara mengekor di belakangku dengan rengekannya yang khas.
“Mainnya di sini saja sama dedek Samudera, ya?”
Aksara tidak merespon seperti biasa, dia malah kembali berputar-putar sambil mengepak-ngepakkan tangannya. Sesekali dia berbicara sendiri, entah dia berbicara apa. Anehnya, setelah melakukan itu dia kembali bermain dinosaurus.
“Aksara? Ayo sini!” panggilku, tetap dia tidak merespon.
“Mbak Wid!” panggil seseorang dari luar pagar.
Tiba-tiba kepala seseorang menyembul dari balik pagar. Rupanya tetangga kami, Sashi namanya. Aku langsung tersenyum menyambutnya.
“Eh, Mbak Sashi. Ayo masuk! Nyari Ibu, ya?” tanyaku.
Sashi langsung membuka pintu pagar yang memang tidak terkunci, dengan malu-malu dia dan seorang anak laki-laki seusia Aksara masuk ke halaman depan rumah.
“Ada perlu, nih, Mbak Wid sama Ibu.”
“Oh, kalau gitu aku panggilkan, Mbak Sashi tunggu dulu,” ucapku lalu masuk ke dalam rumah untuk memanggil Ibu Mertua.
Setelah memanggil Ibu Mertua di kamarnya, kembali aku ke halaman depan. Terkejutnya aku saat melihat tidak ada Aksara di sana. Astaga! Aku lupa tidak menutup pagar lagi saat Mbak Sashi bertamu. Aku langsung bergegas menggendong Samudera lalu pergi keluar mencari Aksara. Aku yakin dia kabur tidak jauh dari rumah.
Jantungku kembali berdegup kencang, bukan kali pertama Aksara menghilang. Aku harus mencarinya sampai ketemu. Entah kenapa firasatku mengatakan kalau Aksara berada di lapangan kompleks.