Tanpa terasa Samudera tumbuh semakin besar, lucu dan menggemaskan. Ada saja tingkahnya yang membuat kami tertawa bahkan sampai geleng-geleng kepala. Seperti dua hari yang lalu, Ayahnya kebingungan mencari kunci motor. Mas Hanung sedang terburu-buru sehingga lupa dimana terakhir meletakkan kunci motor. Sampai seluruh orang rumah mencari dimana-mana. Ujung-ujungnya Aksara yang disalahkan.
“Aksa? Kunci motor Ayah dimana?” tanya Ibu Mertua.
Aksara yang tidak bisa diam cuma cengengesan sambil menunjuk-nunjuk segala arah. Ibu Mertua sepertinya lupa, Aksara memang tidak bisa diajak serius ketika ditanya sesuatu. Tanpa kami duga, si kecil Samudera muncul dari balik pintu kamarku sambil menenteng kunci. Wajahnya tersenyum meringis lebar.
“Itu dia kuncinya.” Kompak kami semua bersuara sambil memandang Samudera.
“Itu kunci… Sam bawa… kunci.” Aksara juga turut heboh seperti kami.
“Sam? Ketemu dimana kuncinya, Sayang?” tanya Mas Hanung, tapi Samudera lagi-lagi tersenyum.
Antara Aksara dan Samudera memang berbeda secara kepribadian dan kesukaan. Kalau Aksara lebih menyukai seni seperti menyanyi dan menggambar, beda dengan Samudera. Dia lebih suka dengan olahraga, terutama sepak bola.
Akan tetapi, keceriaan itu tidak berlangsung lama. Seminggu kemudian Aksara kembali jatuh sakit karena demam tinggi sampai kejang. Jantungku terasa hampir copot melihat Aksara kejut-kejut seperti itu. Karena panik, kami langsung membawanya ke IGD, sementara Samudera kami titipkan ke Mbak Hesti dulu.
“Bagaimana, Dok? Sakit apa anak saya?” tanyaku panik setelah dokter jaga memeriksa Aksara.
“Begini, Bu. Karena demamnya lebih dari tiga hari tidak kunjung turun, kami akan lakukan pengambilan darah untuk di cek. Agar mengetahui apa penyebab demamnya tidak kunjung turun. Sementara ini adik Aksara kita infus dulu, ya, Bu,” jawab dokter itu ramah, lalu menginstruksikan para suster untuk mempersiapan tindakan infus.
Infus? Ambil darah? Ya Allah, bagaimana ini? Aksara sangat takut jarum suntik. Terakhir kali ia dirawat dan diinfus teriak histeris sampai lima suster membantu memasangkan selang infus ke tangan mungil Aksara. Sekarang bukan cuma infus saja, tapi mengambil darah juga.
“Sabar, ya, Nak. Cepat sembuh, biar bisa bermain lagi.” Aku membelai rambut ikalnya. Tubuhnya terkulai lemas setelah kejang tadi. Badannya kembali kurus karena sudah tiga hari ini susah makan.
Pikiranku mulai bercabang, bagaimana dengan Samudera di rumah? Dia tidak pernah aku tinggalkan lama seperti ini. Tapi, kasihan Aksara kalau aku tidak menemaninya.
Aku duduk termenung di kursi tunggu di sebelah ranjang Aksara. Memandangi wajah polosnya yang menggemaskan. Sempat aku bertanya dalam hati, kapan Aksara terbebas dari kejang demamnya? Kata dokter setelah usia lima tahun kejang demam ini akan berkurang. Tapi, apakah harus menunggu selama itu? Sedangkan kalau sudah panas tinggi pasti ada yang mundur dari kemajuannya.
“Ini! Kamu minum dulu, Dek. Kamu harus kuat, jaga kesehatan juga, anak-anak butuh kamu.” Kedatangan Mas Hanung membuyarkan lamunanku. Dia berkata seperti itu sambil memberikan sebotol air mineral kepadaku.
“Bagaimana Samudera di rumah, Mas?” tanyaku khawatir.
“Kamu nggak usah khawatirin Samudera. Dia baik-baik saja di rumah, ada Mama dan Mbak Hesti. Yang penting kita fokus dengan pengobatan Aksara. Apa sudah ada kabar?”
Aku mengangguk. Terlalu banyak yang aku pikirkan. Bukan hanya Aksara saja, tetapi Samudera juga. Apakah Ibu Mertua dan Kakak Ipar sungguh-sungguh menjaga Samudera dengan baik atau tidak? Pikiranku selalu kacau seperti ini ketika anak-anak sakit. Selalu saja dihantui rasa kecemasan.