Kedatangan Mbak Indira membawa angin segar, setidaknya untukku. Selagi menunggu anak-anak di rawat, aku dan Mbak Indira saling bertukar cerita. Bagaimana keadaan keluarga di kampung, apa yang terjadi di sana, dana berbagai macam hal. Aku pun juga sempat curhat kepada Mbak Indira tentang permasalahan yang aku alami.
“Ya Allah, Mbak Wid. Aku tidak tahu kalau seperti itu jadinya. Kamu kuat banget, loh, Mbak. Nggak semua orang bisa sekuat dirimu.” Mbak Indira berucap lirih seraya menepuk pelan punggung tanganku.
Tidak cuma Mbak Indira saja yang mengatakan hal demikian padaku, teman di tempat terapi, guru paud Aksara, juga abang sayur di ujung jalan rumah pernah berkata seperti itu.
“Kalau bukan aku yang kuat, kasihan anak-anak, Mbak. Aku tidak mau terlihat lemah di depan mereka. Senyum polos mereka selalu menjadi penyemangatku untuk tetap kuat menghadapi semua ini.”
Mbak Indira mengangguk lalu tersenyum mendengar penjelasanku. Usiaku dan dia tidak begitu jauh, Mbak Indira lebih tua tiga tahun dariku. Dia masih single dan belum memiliki pasangan. Sempat dengar kabar bahwa dia ingin mengejar mimpinya sebelum menikah.
“Aku yakin kamu pasti kuat. Aksara dan Samudera anak yang pintar. Di balik kekurangan mereka pasti memiliki kelebihan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Suatu saat kelebihan itu yang akan membawa mereka pada kesuksesan,” tambahnya lagi.
“Ya, aku harap begitu, Mbak.”
Andai Mbak Indira tidak datang, entah kesepian apa yang sedang ku alami sekarang. Melihat anak-anak terbaring lemah di ranjang rumah sakit seperti ini membuatku tidak berdaya.
Sampai kapan mereka mengalami sakit-sakitan seperti ini. Terkadang hinggap rasa iri di hati melihat anak-anak lain bisa riang gembira bermain. Bermain hujan-hujanan, mengejar layangan di tengah siang bolong, dan lain-lain. Sementara Aksara tubuhnya ringkih, kehujanan sedikit saja sudah demam dan kalau demam aku sudah panik bukan kepalang.
***
“Mama rasa Aksara dan Samudera harus ganti nama.”
“Ganti nama? Emang ada yang salah dengan nama mereka, Bu?” tanyaku terkejut.
“Jelas, mungkin kamu nasih namanya terlalu berat, makanya pada sakit-sakitan. Kata orang dulu-dulu begitu.”
“Benar kata mama. Aku rasa juga namanya keberatan jadinya gampang sakit.”
Apa hubungannya sakitnya anak-anak dengan nama mereka yang katanya keberatan? Bukankah nama adalah doa orangtua kepada anaknya? Apakah nama yang ku berikan untuk anak-anakku tidak bagus?
“Ah, perasaan Mama sama Mbak aja. Hanung rasa nama Aksara dan Samudera juga sudah cukup bagus, kok.” Akhirnya Mas Hanung membelaku. Bersyukurnya diriku memiliki suami yang membela istrinya di depan ibu dan saudara perempuannya. Kebanyakan Suami selalu memihak kepada keluarganya daripada istrinya sendiri.
“Kamu itu, selalu saja membela istrimu. Mama ngomong begini bukannya tanpa alasan. Kamu ingat Dewi? Itu anaknya Bude Retno, anak tunggalnya waktu kecil sering sakit-sakitan dan sering keluar masuk rumah sakit. Coba lihat setelah namanya diganti, anaknya jadi jarang sakit-sakitan, malah sekarang dia jadi orang sukses.” Ibu tetap bersikukuh dengan keinginannya mengubah nama Aksara dan Samudera.