Apakah sedang gempa bumi? Kenapa tempat ini semuanya berputar? Kenapa pandangan menjadi buram begini?
“Bunda bangun, Ayah!” Suara itu? Ya Allah kepalaku sakit sekali.
“Dek? Kamu sudah sadar?”
Mata ini berat sekali untuk terbuka. Rasanya seperti dihantam benda teramat keras.
“I-iya. Mas Hanung? Apa itu kamu, Mas?”
“Iya, Dek. Kamu pingsan di dapur tadi.”
Keningku mengkerut. Segera aku bangun dan duduk bersandar. Dengan pandangan yang masih tidak terlihat jelas, Mas Hanung memberikan segelas air minum padaku.
“Aku? Pingsan?” Mas Hanung mengangguk.
“Iya. Bagaimana? Apa masih pusing?” tanyanya pelan, aku bisa merasakan nada kekhawatiran dari suaranya. Aku mengangguk lemas.
Pingsan? Bagaimana aku bisa pingsan? Seingatku tadi sedang mencuci piring bekas masak di dapur, lalu kepalaku mulai berputar. Benda-benda di dapur seperti berputar. Sebelum akhirnya pandanganku perlahan mulai gelap. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Dan tersadar sudah di kamar.
“Astaghfirullah! Mas! Tamu Mbak Hesti? Apa mereka sudah makan? Ya Allah aku lupa menyiapkan makanannya.” Jantungku berdetak kencang teringat akan dua tamu spesial Mbak Hesti. Aku bisa celaka kalau tidak menjamu mereka dengan baik. Aku hendak turun dari ranjang, namun Mas Hanung mencegahku.
“Tidak usah.” Mas Hanung membelai pelan tangan dan keningku.
“Kenapa?”
Mas Hanung tersenyum, membuatku penasaran. “Tamunya sudah pulang, Sayang.”
“Hah? Sudah pulang? Trus makanannya gimana?” Aku terkejut setengah mati, kalau sementara Mas Hanung senyum-senyum tidak jelas begitu. “Kenapa Mas nggak bangunin aku, sih? Kan nggak enak ada tamu aku nggak layanin. Nanti Mbak Hesti marahin aku.”
“Nggak ada yang marahin kamu.” Mas Hanung membelai rambutku sambil melanjutkan kalimatnya, “Mereka sudah makan masakanmu. Yah, meski agak sedikit kesal karena kejadian tadi itu. Tapi, karena masakanmu enak mereka nggak jadi kesal. Dan Mbak Hesti akhirnya senang karena dua temannya itu menghabiskan makanan yang kamu masak itu.”
Akhirnya, setelah mendengar penjelasan Mas Hanung hatiku merasa lega. Tapi, tetap saja, aku masih merasa cemburu dengan kedua wanita cantik itu. Terlebih bila mendengar cerita Mbak Hesti kalau mereka juga teman sekolah Mas Hanung. Bagaimana kalau Mas Hanung jadi suka sama salah satu wanita itu? Kalau di bandingkan diriku dengan mereka jelas aku tidak ada apa-apanya. Aku hanya berasal dari kampung dengan pendidikan rendah, sudah pasti kalah saing dengan mereka yang berpendidikan.
“Kamu cemburu sama mereka?” tanya Mas Hanung seolah bisa menebak isi pikiranku.
“Jangan sok tahu, deh!” Aku mengelak mamalingkan wajah.
“Aku dan mereka itu nggak ada apa-apanya. Lagian nih, kamu itu the best dari mereka. Bisa masak, urus anak, urus rumah, dan masih banyak lagi kelebihan kamu,” katanya sambil mencubit pelan pipiku. “Kamu terlalu capek, Dek. Maafkan Mas karena tidak membantumu. Seharusnya Mas langsung pulang saja tadi. Jadi kamu nggak pingsan begini.”
“Anak-anak gimana, Mas? Aku belum menyuapinya makan tadi.” Teringat dua malaikat kecilku yang terpaksa terlantar karena ditinggal memasak.
“Anak-anak aman, kamu tenang istirahat saja.”