Alhamdulillah Samudera sudah ceria kembali setelah sembuh dari demamnya. Begitulah kondisi anak-anak, kalau sudah kelelahan berujung demam. Bisa jadi hal itu diturunkan dari kondisiku ketika kecil. Maka dari itu, aku sangat menjaga mereka untuk tidak lelah saat bermain.
Aksara juga sepertinya sudah bosan libur di rumah karena adiknya sakit. Di rumah dia hanya bermain dinosaurus saja di halaman belakang atau di kamar. Akhir-akhir ini, Aksara perlahan menunjukkan kemajuannya. Beberapa hari terakhir ini dia sudah mampu mengucapkan lebih dari empat kata meski belum bisa menyusunnya dengan baik. Dia juga sudah bisa protes kalau aku melakukan sesuatu yang menurutnya itu kesalahan.
Seperti tadi pagi contohnya, saat aku menyuapi Aksara. Dia sudah bisa protes tidak mau sekolah karena tangannya kram kalau menulis. Sedikit terkejut, ternyata dia bisa mengutarakan rasa tidak sukanya. Aku tersenyum kecil. Bukannya aku tidak suka, hanya saja apa yang Aksara katakan itu membuat hatiku geli.
“Aksara harus sekolah biar pinter,” responku.
“Sekolah itu tidak enak.”
“Aksara nggak boleh ngomong begitu. Nanti di sekolah kamu bisa bermain dengan teman-teman, ada bu guru yang baik juga.” Aku membelai kepala Aksara dengan penuh kasih sayang. Aku bersyukur, semakin bertambah usianya dia bisa mengutarakan apa yang ada di dalam kepalanya.
Setelah selesai menyiapkan keperluan Aksara, kini berganti menyiapkan keperluan Samudera. Bungsu imut ini juga bisa request bekalnya untuk di sekolah nanti. Roti bakar isi cokelat dan susu kotak, tentu dengan cara bicaranya yang khas.
Sejak selepas Subuh tadi, Mas Hanung sudah berangkat untuk mengantar salah satu tetangga yang memang sudah menjadi langganannya. Mungkin setelah itu dia menerima orderan lain sehingga tidak pulang. Jadi, aku yang mengantar anak-anak ke sekolah.
***
“Zahra! Mama perhatikan sudah tiga hari ini kamu tidak masuk sekolah. Kamu sengaja bolos?” Terdengar suara Mbak Hesti begitu keras dari dalam kamar Zahra dan Zaskia.
“Kalau orang tua tanya tuh jawab! Bukan diam begitu!”
“Ada apa, Mbak? Suaranya kedengeran sampai teras, lho,” tanyaku pelan. Ku lihat Zahra duduk terdiam di meja belajar, tidak menghiraukan Mbak Hesti yang berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Disusul Ibu Mertua di belakangku.
“Ada apa ini ribut-ribut? Hesti? Kenapa kamu?”
“Ini, lho. Sudah tiga hari Zahra tidak masuk sekolah. Kalau ditanya alasannya guru rapat lah ini lah itu lah. Padahal kata guru di sekolahnya dia sudah bolos tiga hari! Dia ketahuan bohong, Ma! Emang anak nggak tau diri!”
“Astaghfirullah, Mbak. Istighfar, mungkin Zahra ada alasannya kenapa dia sampai bolos begini,” ucapku pelan sambil menepuk pelan pundaknya, akan tetapi tanganku ditepisnya.
“Iya, Hesti. Jangan begitu ke anak sendiri. Semua bisa dibicarakan pelan-pelan.”
Mbak Hesti berdecak kesal dan menatap kami bergantian dengan tatapan sinis.
“Dibicarakan pelan-pelan? Anak ini udah nggak mau dengerin omongan orang tua. Percuma saja kalau ngomong baik-baik, masuk telinga kanan keluar telinga kiri,” kesalnya. “Mama tahu kenapa kamu seperti ini, ini semua karena HP dan laptop. Nyesel Mama beliin kamu benda itu! Kamu jadi pemalas! Tidak mau belajar!” hardik Mbak Hesti.
Mendengar amarah Mbak Hesti meluap-luap seperti itu membuatku prihatin dengan kondisi Zahra. Setelah Papanya meninggal akibat terkena virus Covid 19 beberapa tahun lalu, Zahra mendadak berubah menjadi pendiam. Biasanya selepas pulang sekolah, dia dan Zaskia selalu bermain dengan Aksara dan Samudera. Akan tetapi belakangan ini dia sering mengurung diri di kamar. Seperti yang sudah aku duga sebelumnya, ada yang Zahra sembunyikan dari kami dan Mbak Hesti tidak menyadarinya. Zaskia kebetulan sudah berangkat, aku yang menyuruhnya untuk segera berangkat.
“Ayo jawab Zahra!” bentak Mbak Hesti.
“Aku memang nggak mau sekolah!” Akhirnya Zahra mulai membuka suara.
Kami semua terbelalak mendengar jawaban dari Zahra, anak yang kami tahu sebagai anak yang penurut, rajin, pandai, dan tidak neko-neko. Mendadak tidak ingin sekolah. Ada angin apa gerangan?
“Zahra? Kenapa nggak mau sekolah, sayang?” tanya Ibu Mertua lembut seraya membelai rambut Zahra yang hitam panjang.
“Halah! Nggak usah manjain dia, Ma! Kebiasaan!” Mbak Hesti masih berkacak pinggang lalu berjalan mendekati Zahra. “Kenapa kamu nggak mau sekolah, hah?! Kamu pasti berbuat onar kan di sekolah? Ayo ngaku!” Mbak Hesti tetap membentak Zahra dengan mencubit lengannya sampai anak itu meringis kesakitan. Dia terlihat sangat ketakutan melihat sang Ibu seperti itu.
“Mbak Hesti!” Refleks aku memisahkan Kakak Iparku ini dengan putri pertamanya. Khawatir Mbak Hesti bisa kalap mata menganiaya Zahra lebih parah lagi.
“Apa kamu?” Kini dia memelototi dan membentakku. Aku terkejut.