Dari segala masalah yang mendera hidup ini ada kalanya kita wajib mensyukuri satu hal. Tuhan memberikan kita cobaan hidup itu artinya, Tuhan masih menyayangi kita. Tuhan menginginkan kita untuk tetap optimis menjalani kehidupan ini. Karena Tuhan pasti akan memberikan hadiah untuk orang-orang yang sabar.
Setidaknya aku bersyukur memiliki buah hati seperti Aksara dan Samudera. Berkat kehadiran mereka aku belajar banyak hal. Mereka seperti guru kehidupan bagiku dan Mas Hanung. Mereka mengajariku kesabaran, kesederhanaan, kekuatan, ketulusan, dan berbagai hal lainnya yang tidak pernah aku jumpai dimanapun. Meskipun pada awalnya cukup berat untuk menerima semua ketetapan ini.
Aksara dan Samudera memang berbeda dari anak tipikal lainnya. Tapi, dibalik semua itu mereka memiliki keistimewaan dan kelebihan masing-masing. Aksara dengan tingkat sensitifnya yang yang tinggi, sangat peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Ketika ada temannya yang menangis, dia yang pertama bertanya tentang kondisinya. Sedangkan Samudera berbanding terbalik, dia sangat suka bermain terutama bermain bola. Dia tidak bisa diam dan selalu bergerak kesana dan kesini.
Keistimewaan mereka itulah yang membuatku harus banyak-banyak bersyukur, karena tidak semua anak seperti Aksara dan Samudera. Dengan keistimewaan itu juga aku yakin anak-anak mampu mengejar ketertinggalannya.
***
“Bagaimana Zahra, Mas?” tanyaku pada Mas Hanung saat kami beristirahat di kamar. Kejadian Zahra kemarin menyita pikiranku.
Selama ini Zahra menjadi korban bully di sekolahnya. Dia diejek karena pekerjaan Mamanya. Lalu, bagaimana kalau sampai anak-anak menjadi korban bully karena keadaan mereka? Apakah mereka mengerti kalau sedang jadi bahan bullyan? Mengingat usia mereka semakin lama sudah masuk usia sekolah.
Mas Hanung mendesah panjang ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir.
“Yah, besok Mbak Hesti Zahra akan bertemu kepala sekolahnya untuk membicarakan kasus ini. Sayang sekali kalau Zahra harus banyak membolos, prestasinya di sekolah lumayan bagus.”
“Mas benar, Zahra termasuk anak yang berprestasi sayang kalau sampai nilainya turun. Tapi, bagaimana dengan Mbak Hesti? Maksudku setelah tahu alasan sebenarnya Zahra menyendiri seperti itu, bagaimana sikap Mbak Hesti?”
Mas Hanung membenarkan posisi duduknya, menyender ke tembok di sebelahku.
“Mbak Hesti kaget banget Zahra kayak gitu. Mas juga selama ini bingung dengan pekerjaannya. Setiap siang hari dia keluar rumah dengan penampilan yang menurutku heboh dan pulang larut malam. Zahra dan Zaskia sampai sedih karena perlahan sikap Mamanya berubah. Zahra, sih, yang langsung terkena batinnya. Zahra lebih dewasa dari usianya, dia sangat kritis pemikirannya. Ditambah dia di bully oleh teman-temannya, mentalnya semakin down,” jelasnya panjang lebar.
“Kira-kira pekerjaan Mbak Hesti apa, ya?” tanyaku penasaran.
“Mas juga nggak tahu dan nggak mau menduga yang tidak-tidak. Semoga pekerjaan Mbak Hesti halal untuk anak-anaknya. Sejak ditinggal suaminya, perekonomian Mbak Hesti terjun drastis. Barang-barang mewahnya satu persatu sudah dijual demi membayar sekolah Zahra dan Zaskia. Maka dari itu Mas sekuat tenaga mencari uang untuk mereka juga, nggak tega lihatnya. Bagaimanapun Mbak Hesti yang ngemong Mas waktu kecil.”
Kalau Mas Hanung sudah mengatakan demikian aku bisa apa. Kalau nanti dugaanku tentang Mbak Hesti benar bagaimana dengan Zahra nanti? Duh, kenapa aku sampai berpikir ke arah sana? Yang harus aku pikirkan sekarang adalah bagaimana dengan sekolah anak-anak.
“Uhuk! Uhuk!”
“Mas batuk lagi?”
“Nggak tahu, nih. Perasaan sudah enakan kok batuk lagi.” Segera aku mengambil air hangat yang sudah wajib berada di samping tempat tidur.
Padahal sudah berobat, tapi batuknya kedengaran tambah parah saja. Mas Hanung juga tidak merokok dan di rumah juga tidak ada yang merokok.
“Bagaimana kalau besok kita berobat lagi? Mungkin obatnya kurang manjur, sekalian kita cek paru-paru Mas juga,” ujarku cemas.
“Untuk apa? Mas baik-baik saja, ini mungkin karena polusi saat ngojek. Nanti juga sembuh, mungkin juga AC-nya belum dibersihkan. Besok Mas panggil orang buat bersihin,” ucapnya lalu kembali berbaring.
Aku kasihan melihat Mas Hanung seperti ini. Dulu saat Mas Hanung bekerja di kantoran, jabatannya cukup lumayan. Tetapi, setelah bencana virus Covid 19 semuanya berubah. Mas Hanung ikut dalam daftar nama pegawai yang dirumahkan. Otomatis kita berputar otak untuk membiayai kehidupan keluarga ini. Salah satunya dengan menjadi tukang ojek online.
Setiap selesai shalat subuh, Mas Hanung mendapat langganan tetap untuk mengantar ke stasiun.
Kadang-kadang juga Mas Hanung terpaksa pulang larut malam karena sedang mengantar penumpang ke daerah yang lumayan jauh. Aku sudah menasehatinya untuk tidak mengambil orderan yang jauh meski tarifnya lumayan tinggi. Terlebih lagi berita yang banyak beredar tentang pembegalan dan perampokan di jalan yang selalu menimpa pengendara ojek online. Setiap hari setelah shalat aku selalu berdoa untuk keselamatannya dalam bekerja. Semoga selalu selamat berangkat dan pulang.