Aksara Samudera

yhantlies92
Chapter #30

#30 Terusir & Perjuangan Hidup (End)

Bagaimanapun juga, hidup harus berjalan. Begitu yang dikatakan para sahabat dan teman-teman. Masih ada anak-anak yang harus ku perjuangkan. Masih harus tetap berusaha untuk mengejar ketertinggalannya demi bisa hidup normal seperti anak tipikal lainnya.

Duka itu memang tak hilang dari hidupku. Bayang-bayang Mas Hanung masih ada di setiap sudut relung hati dan di setiap sudut rumah ini. Pesan-pesan yang Mas Hanung selalu ucapkan padaku tentang anak-anak selalu aku ingat.

Aksara dan Samudera, dua permata hatiku dan Mas Hanung, kini menjadi anak yatim dan mulai saat ini dan selamanya akan tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ayah. Ayah yang selama ini selalu menemaninya bermain, mengajarkan banyak hal yang tak pernah orang lain lakukan di dunia ini. Sosok seorang Ayah yang nantinya akan mereka ingat sebagai sosok yang luar biasa, meski untuk kali ini mereka belum paham apa yang terjadi sebenarnya.

“Wid? Tadi pas Ibu habis anterin anak-anak, ada yang nitip salam sama kamu. Sama nitip ini juga.” Ibu menghampiriku sambil memberikan sebuah amplop padaku.

Aku meraih amplop itu dengan pandangan bertanya-tanya. “Ini apa, Bu?”

“Katanya, sih, ini buat Aksara dan Samudera. Buat bantu-bantu nambah biaya sekolah, selain itu orang itu juga pesan dimsum dua puluh lima box untuk acara pengajian besok. Nama orang itu Mama Zea,” jawab Ibu menjelaskan.

“Alhamdulillah ya Allah… Mama Zea baik banget. Alhamdulillah aku dapat pesanan Bu, buat nambah-nambah biaya sehari-hari.” 

Tak henti-hentinya aku bersyukur atas Rahmat Tuhan yang tiada tara ini. Mama-mama teman Aksara di sekolah ternyata tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Meski ucapan mereka terkadang menusuk di hati, tapi kepedulian mereka sangat berarti.

“Sini! Biar Ibu yang pegang!” 

Tiba-tiba saja Ibu Mertua mengambil paksa amplop yang sedang kupegang. Dilihatnya isi amplop tersebut. Matanya terlihat membulat melihat isinya yang lumayan terdapat beberapa lembar uang berwarna merah.

“Lumayan juga yang kamu dapat, Wid. Nih!” ucapnya sambil memberiku beberapa lembar uang dari isinya. Aku menerimanya dengan pandangan heran.

“Kenapa kamu ngeliatin Ibu kayak gitu? Kurang? Itu sudah cukup untuk modal bikin dimsum, sisanya Ibu saja yang pegang untuk ngatur keuangan. Bisa habis kalau kamu yang pegang.”

Setelah mengatakan itu, Ibu Mertua langsung pergi meninggalkanku dan Ibu dengan tatapan sinis dan penuh rasa tidak suka. Rasa kesal mulai memenuhi relung dada. Itu hak anak-anak, kenapa dirampas begitu saja?

“Sabar, Wid. Maafin Ibu, ya sudah merepotkan mertuamu. Masa Iddah kamu tinggal seminggu lagi. Setelah itu Ibu akan kembali ke Kalimantan. Jaga diri kamu dan anak-anak baik-baik, ya, Nak.”

“Tapi, Bu?”

“Benar kata Ibu Mertuamu, Ibu hanya numpang. Ibu yakin kamu bisa hidup mandiri tanpa Mas Hanung.” Ibu kemudian masuk ke dalam kamar, dan tak lama kemudian dia keluar dengan membawa sesuatu dan memaksaku untuk menerimanya.

“Apa ini, Bu?” tanyaku heran.

“Ibu nggak punya banyak. Ini sisa peninggalan mendiang Bapak. Sengaja Ibu simpan untuk berjaga-jaga kalau saja anak-anak Ibu membutuhkan. Ibu rasa kamu membutuhkan ini, tolong kamu simpan ini dan gunakan sebaik-baiknya. Hanya ini yang bisa Ibu berikan.”

Oh, Tuhan. Kenapa Engkau terlalu banyak memberiku sesuatu yang terindah dibalik kesedihanku kali ini? Bola mataku kembali berkaca-kaca menerima pemberian dari Ibu. Ibu yang selama ini jarang bertemu karena jarak yang memisahkan kami. Tapi Ibu dengan kasih sayangnya memberikan sesuatu yang seharusnya bisa untuk beliau gunakan.

“Ibu? Kenapa Ibu melakukan ini? Ibu juga membutuhkannya, Widya bisa mencarinya, Bu.”

“Tidak apa-apa, Nak. Anggap aja ini sebagai rasa bersalah Ibu karena Ibu tidak pernah ada di saat kamu membutuhkan Ibu. Minggu depan Ibu sudah ke Kalimantan, mungkin akan lama Ibu tidak main ke sini.”

“Bagaimana caranya aku membalas kebaikan Ibu? Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan untuk Ibu dimanapun Ibu berada.”

“Amin….”

***

Setelah lebih dari empat bulan aku bertahan di rumah selepas meninggalnya Mas Hanung, secara aturan agama sudah diperbolehkan untuk bepergian. Bukankah seperti yang aku katakan bahwa hidup terus berjalan? Maka dari itu aku sudah siap lahir batin untuk mencari nafkah demi menghidupi kedua anak-anak juga untuk membantu perekonomian Ibu Mertua. Ya, meski sekarang Mbak Hesti sudah bekerja dan penghasilannya cukup lumayan, aku tidak bisa enak-enakan tinggal di rumah ini tanpa melakukan apapun. Maka dari itu, semua pekerjaan rumah aku kerjakan dengan ikhlas, seperti yang dikatakan mendiang Mas Hanung semasa hidup bahwa apapun yang kita kerjakan harus diawali dengan niat yang ikhlas, maka akan mendapatkan pahala yang berlimpah.

Terlalu banyak kebaikan yang sudah kau lakukan, Mas. Sampai-sampai setiap aku melangkah masih terngiang-ngiang suara dan canda tawamu di rumah ini.

“Mau kemana kamu?” tanya Mbak Hesti. Aku yang hendak menyalakan mesin motor terpaksa urung ku lakukan.

“Mau ke pasar buat beli bahan-bahan kue. Ada apa, Mbak?” tanyaku.

“Jangan lupa jemput Zahra dan Zaskia jam satu siang nanti. Oh, ya. Kamu juga harus masak. Pokoknya Mbak pulang makanan sudah tersedia dan rumah sudah bersih. Ingat itu!” titah Mbak Hesti.

“Baik, Mbak,” jawabku singkat.

Mbak Hesti kemudian berjalan melewatiku dengan tatapan sinis. Di depan pagar, sebuah mobil Pajero hitam berhenti. Saat kaca mobil diturunkan, terlihat seorang pria berkacamata hitam tersenyum ke arah Mbak Hesti. Mbak Hesti menyambutnya dengan melambaikan tangan.

Aku tidak tahu siapa pria itu. Akan tetapi pria itu sering datang hanya untuk mengantar dan menjemputnya. Pria itu juga tidak pernah turun untuk sekedar mampir. Sudahlah, aku juga tidak ingin tahu. Lebih baik aku secepatnya ke pasar sebelum bahan kue habis.

“Mbak Wid!” Lagi-lagi seseorang menghentikan langkahku.

“Eh, Bu Rt. Ada apa, Bu? Kok kayaknya tergesa-gesa gitu?” tanyaku keheranan melihat Bu Rt datang dengan tergesa-gesa.

“Maaf, Mbak Wid jadi ganggu. Begini, ada yang mau saya tanyain. Tapi Mbak janji jangan tersinggung, ya?”

Aku mengerutkan kening, “tersinggung kenapa, Bu?”

“Sebenarnya warga di sini sudah resah dengan sikap Mbak Hesti. Warga selalu melihat Mbak Hesti sering di antar jemput cowok yang naik mobil hitam itu. Sebenarnya nggak gimana-gimana, cuma suami dan anak saya pernah tak sengaja melihat Mbak Hesti sedang pelukan dan ciuman dengan pria itu tidak jauh dari komplek perumahan ini. Kedatangan saya sebenarnya tidak bermaksud untuk membuat Mbak Widya tersinggung….”

“Saya mengerti maksud Ibu. Jujur saja, saya kurang tahu bagaimana pekerjaan Mbak Hesti dan siapa pria bermobil hitam itu. Memang pria itu sering datang tapi tidak pernah mau mampir.” Ibu Rt mengangguk mendengar penjelasanku. 

“Baiklah, Mbak kalau gitu saya pamit dulu. Maaf jadi ganggu waktunya.”

“Nggak apa-apa, Bu,” ucapku tersenyum.

Lagi-lagi masalah Mbak Hesti. Entah kenapa Kakak Iparku itu sudah berbeda jauh dari sebelumnya. Dari segi penampilannya sudah terlihat jauh berbeda, Mbak Hesti juga sudah tidak pernah ke dapur lagi sejak suaminya meninggal. Mbak Hesti juga jarang bermain dan menemani anak-anaknya Zahra dan Zaskia. Sampai-sampai dia tidak tahu bahwa Zahra menjadi korban bulying di sekolahnya.

***

Lihat selengkapnya