(Sebuah ramalan)
Sekuntum teratai merayu langit untuk mengiriminya hujan.
Langit menurunkan hujan, tidak dalam rupa air, tetapi dalam bentuk tinta hitam pekat.
Seluruh tinta turun sebagai rintik-rintik aksara. Rintik-rintik aksara membentuk genangan kata-kata. Genangan kata mengalir, berkumpul menjadi samudera kalimat. Samudera kalimat mengombak, berdesir dan mendendangkan syair-syair. Ombak-ombak syair bergemuruh, menggulung dunia dalam sapuan Mantra.
***
Ramalan itu diduga kuat sebagai petunjuk akan keberadaan Sastrajendra, kitab induk semua Mantra dalam legenda. Ramalan itu muncul dalam mimpi berbagai pertapa sakti yang tersebar hampir di seluruh Arcapada, sehingga sangat diyakini kebenarannya. Ada banyak ragam lirik yang beredar, tetapi orang-orang berkuasa berhasil mengetahui bunyi tepatnya dari jaringan informasi mereka yang sangat rahasia. Mereka semua yakin, siapapun yang berhasil menemukan rahasia dalam ramalan itu akan memiliki kekuatan untuk mengendalikan dunia.
"Teratai itu tumbuh di dalam tubuh seorang perempuan suci, Mpu," kata seorang lelaki dengan selendang penutup mata. Kedua netranya telah buta, tapi tidak dengan mata hatinya. Ia percaya para Batara di langit menyukainya karena bakti-bakti yang telah dilakukannya. Ia sangat yakin, tiga malam yang lalu, para Batara membalas pengabdiannya dengan memberi sebuah petunjuk lewat mimpi yang tidak diberikan pada siapapun selain dirinya.
Lelaki paruh baya yang dipanggil dengan Mpu itu mendengus. Dengan nada meremehkan, ia balik bertanya, "Apakah para Batara yang kau puja siang dan malam itu juga memberitahumu di mana perempuan suci ini?"
Lelaki buta itu terdiam. Para Batara telah mengirimkan sebuah petunjuk padanya, tapi tidak secara khusus menyebutkan sosok dan tempatnya. Imannya sedikit goyah karena setitik keraguan yang muncul di hatinya. Namun ia segera menghapus noda titik itu dan membalas, "Para Batara ingin melihat kesungguhan kita, para Begawan yang mewarisi pengetahuan mereka."
Sang Mpu tidak menanggapi lelaki buta itu. Ia berbalik dan segera meninggalkan pelataran candi di kaki gunung tempat mereka bertukar pesan. Seperti seekor elang yang menukik menerkam mangsa, sang Mpu meluncur ke dalam kelebat hutan yang mengepung gunung tersebut.
"Kabar apa yang kau bawa?" kata sang Mpu menatap dahan raksasa sebuah pohon randu yang menjulang ke angkasa.