Tidak ada awan di langit. Bintang-bintang gemerlap bertebaran di permadani malam. Bulan bulat penuh menggantung, sinarnya menyorot angker sekaligus teduh. Pada malam-malam purnama seperti ini, makhluk halus kerap berkeliaran. Sebab, saat purnama, batas antara dunia manusia dan makhluk halus melebur.
Bulan purnama di Arcapada dekat dengan dua hal yang saling bertentangan. Selama purnama banyak manusia yang pergi tanpa kembali, banyak tempat terasing yang kemudian menjadi sarang hantu dan siluman. Namun, tak jarang juga para pertapa dan Begawan mendapat pencerahan di bawah naungan temaram purnama. Pencerahan itulah yang kemudian membawa umat manusia lebih maju selangkah demi selangkah.
Saat purnama, banyak ritual dilaksanakan, entah ritual memohon berkah dari para Batara ataupun melampiaskan dendam kesumat dengan pertolongan demit. Saat purnama pula, hewan malam lebih giat dan berkeliaran lebih jauh dari biasanya. Hewan-hewan kecil mencari makan lebih jauh dari sarang karena sinar bulan menerangi jalan dan menyibak semua hal yang biasanya disembunyikan gelap. Di saat yang sama, mereka juga terpapar sinar rembulan dan menjadikan sosok mereka lebih mudah tertangkap nyalang mata pemangsa.
Namun, di Desa Girah dan sekitarnya, purnama malam ini hanya berarti kematian.
Di sebuah bukit yang rimbun oleh pohon-pohon besar tak jauh dari Desa Girah itu hanya ada senyap yang mencekam. Tak ada sahut-sahutan lolong anjing hutan yang biasanya berburu kelinci, tikus, atau babi. Bahkan tak ada kelinci, tikus, atau satwa kecil-kecil lainnya. Bahkan tak ada serangga di pohon-pohon dan di lubang tanah. Bahkan tak ada hantu atau seekor mahkluk halus sekalipun. Mereka semua telah melarikan diri dari senyap yang ganjil—senyap sebelum petaka. Seandainya pohon-pohon dan batu-batu di bukit itu punya kaki, mereka pasti akan berlarian pula.
Dari arah kaki bukit, seorang prajurit berlumur darah berlari secepat yang ia bisa. Prajurit itu menerobos apapun di bukit itu seperti seekor kijang yang melarikan diri dari perburuan sekawanan anjing hutan. Tak peduli berapa semak dan perdu berduri yang mengail kulit dan dagingnya, ia terus berlari. Tak peduli betapapun besarnya tebing akan dipanjatnya demi dapat berlari dalam lintasan lurus tanpa harus berkelok-kelok. Ia tidak boleh terhenti, sebab ia sedang diburu; diburu bukan oleh pemangsa atau pemburu, tapi oleh petaka itu sendiri.
“Lari! Lari! Lari, Sumali!” Benaknnya berteriak, melecutnya untuk terus bergerak.
Prajurit bernama Sumali itu terus berlari dengan bungkusan putih dalam pelukannya. Ia baru berhenti ketika sebuah jurang besar sejauh ratusan kaki menghadangnya. Jurang itu seperti rahang maut yang menganga, melahap semua kehidupan yang dengan pongah hendak melampauinya.
Dengan tenaga dalamnya, Sumali bisa berlari secepat angin. Namun di hadapan alam raya, dirinya tak ubah seperti kerikil kecil di tepi jalan. Ia menyadari, kecuali ia bisa terbang, Sumali tidak akan bisa melewati jurang itu.