Matahari semakin tinggi. Cahayanya yang semakin cemerlang menembus celah-celah kecil di kedalaman sebuah jurang. Berkas-berkas cahaya menyentuh permukaan sungai yang bergerak dengan cepat, yang mengalir dan terpecah-pecah karena menghantam batuan dalam berbagai ukuran. Seorang pendekar berjubah putih melangkah dari satu batu ke batu yang lain seperti seorang peri.
Langkah-langkah sang pendekar yang selanjutnya selalu tidak terkira. Kadang selangkah kakinya membawanya terbang ke batu yang jauh. Kadang ia terlihat melangkah, tapi posisinya tidak berubah sama sekali. Terkadang ia terlihat melangkah ke kiri tapi tubuhnya bergerak ke kanan dan sebaliknya. Kain jubah dan kelambu putih yang mengitar di sekeliling caping bambunya berkibar di udara, menciptakan aura yang sungguh misterius.
“Pendekar Hantu! Bertarunglah denganku!” Seorang pendekar lain muncul. Tangannya menghunus sepasang pedang.
Pendekar dengan sepasang pedang di tangan itu terkenal dengan julukan Pendekar Penebas Naga. Julukan itu didapatkannya setelah berhasil kembali hidup-hidup setelah bertarung dengan Pendekar Naga Awan, seorang pendekar legendaris yang konon tinggal di atas awan. Setelah kekalahan itu ia bersumpah akan kembali menantang Naga Awan dan mengubah julukan dirinya menjadi Pembasmi Naga.
Bertahun-tahun sudah ia berlatih sembari menantang dan ditantang berbagai macam pendekar. Sebagian besar lawannya berakhir tanpa nyawa, sedangkan sisanya berakhir cacat. Kali ini, sang Penebas Naga kembali menantang seorang pendekar untuk mengasah ilmu silatnya.
Pendekar itu tidak punya julukan, tidak punya jurus-jurus yang mematikan, tetapi Penebas Naga juga tidak bisa menyentuhnya. Ini menunjukkan bahwa pendekar berbusana serba putih ini tidak lebih lemah dari dirinya. Dan karena serba putih dan sulitnya menebas pendekar itu, Penebas Naga menjuluki pendekar itu dengan sebutan Pendekar Hantu.
Pendekar berbusana serba putih tersenyum. Ia menyukai julukannya dan berkata, “Dikau sudah mengejar daku selama dua hari satu malam. Maka sesuai janji daku, daku akan bertarung dengan sungguh-sungguh.”
"Bah!” Pendekar Pembasmi Naga meludah, lalu mengerahkan jurusnya. Sepasang pedangnya berayun berirama sehingga terbentuk sebuah ilusi ratusan pedang. Ratusan pedang itu tampak seperti sepasang sayap rajawali yang perkasa.
Angin kencang bertiup menerbangkan batu-batu dan membalik arah aliran sungai. Bersama angin dahsyat itu, Pendekar Penebas Naga melesak.
Pendekar Penebas Naga kini menjelma sebagai Garuda, burung perkasa musuh para Naga dalam kisah-kisah legenda. Jurus ini adalah serangan pamungkas Pendekar Penebas Naga: Jurus Hempas Sayap Garuda. Jurus itu konon bisa menandingi Jurus Pencacah Gunung milik panglima Kerajaan Daha yang merupakan pendekar terkuat di kerajaan itu.
Semua yang berada di antara pendekar Penebas Naga dan Pendekar Hantu terbelah, bahkan angin sekalipun. Pendekar Penebas Naga melesak semakin cepat dan akhirnya menembus tubuh Pendekar Hantu.
Ada jeda yang singkat setelah angin kencang yang sanggup menyapu sungai berhambur ke segala arah. Pendekar Penebas Naga jelas-jelas menembus tubuh Pendekar Hantu seperi anak panah, tetapi tak di sangka, yang bertekuk lutut setelah serangan itu bukan Pendekar Hantu.
Tubuh Penebas Naga ambruk, jatuh ke badan sungai yang tidak terlalu dalam. Kulit sang pendekar membiru. Darah mengalir dari segala lubang di tubuhnya. Dalam sekejap, pendekar itu sudah menjadi mayat. Wajah pendekar malang itu tampak terkejut, tapi bibirnya tersenyum. Baginya, dibunuh dengan jurus yang lebih sakti dari miliknya adalah sebuah kehormatan.
“Hidup begitu berharga, kenapa kalian membuangnya dengan begitu mudah?” kata Pendekar Hantu dalam nada yang menyedihkan. “Senyum bangga dikau tidak bisa menjelaskan apapun pada daku, Kisanak."
Pendekar Hantu sebenarnya tidak ingin menghabisi nyawa lawannya, namun jika ia berbelas kasih, maka nyawanya sendirilah yang akan tercabut. Ia tidak punya pilihan selain mengerahkan kemampuan terbaiknya, yang itu artinya kematian bagi lawannya.
Pendekar Hantu ingin terus merenungi pertarungannya barusan, akan tetapi ia memiliki urusan yang lebih mendesak. Ia segera memakamkan mayat Penebas Naga di tepian sungai. Sepasang pedang besi milik pendekar Penebas Naga ia tancapkan di atas gundukan makam dadakan itu.
“Terima kasih untuk hadiah dikau. Akan daku pakai nama Pendekar Hantu mulai sekarang. Sebagai seorang pendekar, aku tidak akan mengulang sejarah yang sama denganmu.”
Ada sebuah masa di mana para pendekar menyebar di seantero Arcapada. Itulah masa di mana cita-cita setiap pendekar adalah menyempurnakan ilmu silat mereka dan menjadi pendekar terhebat. Hanya ada dua pilihan bagi para pendekar: menang atau mati saat bertarung. Kematian selain diakibatkan dari pertarungan adalah hal yang memalukan. Bahkan pendekar terkuat sekalipun selalu berharap dirinya digugurkan lewat sebuah pertarungan, bukan dengan usia. Sementara mereka yang mundur dari rimba persilatan, maka mereka tak layak disebut pendekar dan kehilangan segala kehormatannya. Jalan hidup semacam itulah yang disayangkan oleh lelaki serba putih yang sekarang memanggil dirinya sendiri dengan Pendekar Hantu. Masa-masa seperti itu telah lama sekali berakhir, tapi di zaman ini, masih saja pendekar yang memilih jalan hidup seperti itu.
Pendekar Hantu menyudahi perenungannya. Ia melanjutkan perjalanan dan kembali ke tujuan aslinya pergi ke celah jurang itu, yaitu untuk mencari seekor kunang-kunang raksasa yang melesak dari Padepokan Calon Arang.