Aksarastra

Listian Nova
Chapter #6

Bab 5: Tamu Jauh

Hari-hari Ringin dan Aswin berlalu seperti biasa. Keseharian mereka berulang tanpa perbedaan yang begitu berarti. Setiap hari, Aswin berangkat ke sawah sebelum matahari terbit, sementara Ringin membereskan rumah dan memasak. Setelah matahari sedikit tinggi, Ringin pergi merumput sekaligus membawakan bekal untuk Aswin. Keduanya kadang pulang bersama, kadang sendiri-sendiri. Setelah beristirahat, Ringin akan mengurusi sapi dan kerbau, sementara Aswin mencari tanaman obat ke dalam hutan dan mengeringkannya.

Ringin menghabiskan sisa waktunya dengan bermain sendirian. Ia memang tidak punya teman. Tidak bisa, entah kenapa. Orang-orang dewasa banyak menghindarinya, mencibir di belakang. Anak-anak seusianya lebih suka untuk mengganggunya. Menggoda Ringin seperti bermain api, berbahaya tapi menyenangkan. 

Sebenarnya tidak semua anak menjauhi atau memusuhi Ringin, tapi ia pernah melihat satu-satunya teman yang ia punya jadi dirundung karena berteman dengannya. Sejak saat itu, Ringin secara sadar menjauh dan tidak lagi menjalin pertemanan dengan siapapun. Ia memang kesepian, tapi melihat orang yang dekat dengannya menderita jauh lebih menyakitkan. Terlebih, Ringin tidak bisa menjamin keamanan orang lain. 

Ringin memang terlihat keras dan garang dari luar, tapi sebenarnya tubuhnya tidak sekuat itu. Ringin memiliki kelainan pada organ pernapasannya yang mengganggu kesehariannya. Terkadang, Ringin mudah kehabisan napas, bahkan karena pekerjaan-pekerjaan mudah seperti merumput. Ringin bahkan masih kewalahan mengurus dirinya, bagaimana ia akan membela orang lain nantinya?

Di sisi lain, Aswin adalah seorang tukang pijit yang sangat terkenal di dusun itu. Ia sering mengobati beberapa penyakit dalam dengan ramuan obatnya, tetapi selalu menolak untuk disebut tabib. Sebab metode yang dikuasai Aswin sebenarnya bukanlah metode yang dikuasai oleh tabib pada umumnya. Ia mengerahkan prana, daya hidup, untuk mengobati pasien-pasiennya. Itu metode yang digunakan oleh banyak pendekar dan bukan tabib. Tentu saja, orang awam dan biasa tidak bisa membedakan apakah Aswin menyembuhkan mereka lewat ramuan obat ataukah prana.

Aswin sangat disegani oleh warga Dusun Alas Amba karena kemampuan menyembuhkannya itu. Terlebih, Aswin tidak pernah meminta bayaran atas jasanya. Bagi sang tukang pijit, beras dan lauk pauk ala kadarnya sudah lebih cukup sebagai bayarannya. 

Hari itu semua berjalan seperti biasanya bagi Aswin dan Ringin.

Setelah megantar bekal makan siang untuk ayahnya, Ringin segera kembali ke rumah. Setelah memastikan keadaan monyet yang diselamatkannya tempo hari baik-baik saja, Ringin membawa kerbaunya untuk mandi di kali.

"Hei, Nak Ringin," teriak seorang penggembala tua. Ia membenarkan cawatnya yang melorot karena berat menyerap air kali. "Tolong bantu Mbah."

"Iya, Mbah," balas Ringin singkat. Ia merosot dari punggung kerbaunya dan mengambil seikat rumput. "Putranya ke mana, Mbah Miran?" tanya Ringin sembari menyikat lumpur basah dari tubuh kerbau yang lain. Ada empat kerbau di kali itu, dan Mbah Miran mengurusi mereka sendirian.

"Masih merantau, Le," jawab si Mbah, "Sekarang ikut berdagang sama orang Kotaraja."

Ringin mengingat Samingan, anak semata wayang Mbah Miran. Pemuda itu masih di dusun ini beberapa pekan yang lalu, membantu segala keperluan ayahnya seperti Ringin membantu Aswin. Namun, rupanya Samingan sudah pergi ke ibukota.

Ringin sedikit merasa kehilangan. Ia dan Samingan memang tidak bisa dibilang dekat. Mereka hanya berjumpa saat memandikan kerbau, sesekali di pasar. Samingan selalu menyapa, dan sesekali mengajak Ringin bercengkrama sambil menyikat kerbau. Bagi Ringin yang serba canggung, obrolan basa-basi seperti itu sudah membuatnya senang.

"Tahun depan mungkin dia pulang," kata Mbah Miran, menarik Ringin keluar dari lamunan. "Bawa uang yang banyak, lalu beli kerbau dan bikin kandang yang lebih besar lagi." Mbah Miran terkekeh menceritakan harapannya di masa depan.

"Mas Samingan dagang apa, Mbah?" balas Ringin. Ia hanya tahu perdagangan yang terjadi di pasar. Akalnya yang masih muda belum mengerti bagaimana cara uang bekerja. Cerita bahwa Mbah Miran bisa beli kerbau dan kandang luas membangkitkan minatnya.

"Ndak tahu, Le. Nanti kalau dia sudah pulang, kamu tanya sendiri saja. Kamu mungkin bisa ikut rombongan dagangnya Samingan."

"Rombongan dagang itu ngapain, Mbah?" Ringin semakin penasaran. Gosokannya pada pantat kerbau jadi sedikit kurang cekatan.

"Ya keliling dari tempat satu ke tempat lain," urai Mbah Miran, berusaha menjelaskan sesederhana mungkin. "Nanti mereka beli barang di situ, terus menjualnya di tempat-tempat lain yang tidak punya."

Ringin langsung mengerti. Ia melihat celana dan rompinya yang basah. Tidak ada pengrajin kain di dusun itu, tapi mereka semua bisa memakai pakaian bagus seperti ini. Semua itu pasti karena kegiatan dagang yang dilakukan pedagang-pedagang ini.

"Kamu nanti juga bisa keliling ke tempat-tempat baru," lanjut Mbah Miran. "Di luar sana banyak sekali hal-hal yang tidak ada di sini."

Kelopak mata Ringin melebar. Manik matanya yang berkilauan memancarkan rasa penasarannya yang semakin memuncak. "Memangnya ada apa saja, Mbah? Memangnya Mbah Miran pernah ke mana saja?"

Lihat selengkapnya