Aksarastra

Listian Nova
Chapter #7

Bab 6: Sepotong Ramalan

"Jika terjadi sesuatu pada saya, seperti yang Tuan katakan tadi, sudikah Tuan membawa Ringin ke 'Telaga' lagi?" Kata Aswin dengan setengah memohon. Pendekar Hantu sudah banyak menolongnya, dan kalau bisa ia ingin tidak merepotkan lebih banyak lagi. Namun, ini semua demi Ringin, apapun akan dilakukan Aswin demi keselamatan anak itu.

"Tidak hanya Ringin," balas Pendekar Hantu, "tapi juga dikau, Saudaraku. Bukankah itu alasan daku menawarkan dikau untuk bergabung dengan 10 Tabib Abadi?"

Aswin menggeleng. "Saya menolak untuk mencampuri urusan Tabib Abadi, tapi untuk yang satu ini, saya memohon kepada Anda selaku pribadi, Tuan. Dan ini bukan tentang saya, tapi Ringin. Hanya Ringin yang perlu Tuan lindungi."

Pendekar Hantu menghela napas. "Dikau pikir Ringin akan bahagia dengan pilihan itu?"

"Setidaknya dia masih bisa terus hidup."

"Dikau tahu sendiri bukan rasanya hidup dalam pilihan yang ditentukan oleh orang lain?"

Aswin tercekat. Kenangan tak menyenangkan melintas dalam benaknya. Wajahnya yang biasa tampak damai menjadi kecut dalam sekejap.

"Maaf, daku tidak bermaksud mengorek masa lalu dikau," lanjut Pendekar Hantu, "tapi daku harus mengatakannya."

Pendekar Hantu mencondongkan tubuhnya ke arah Aswin, dan berkata lagi, "Dikau juga tahu bagaimana rasanya hidup atas pilihan dikau sendiri. Betapapun beratnya, dikau tetap menjalaninya. Dan dikau bahagia, bukan?"

Mendengar itu, kecerahan kembali ke wajah Aswin. Ia tahu bahwa Pendekar Hantu benar. Selama 7 tahun ini ia bahagia. Ia tidak pernah menyesali pilihannya untuk membelot dari Keprajuritan Daha. Sebaliknya, ia mendapatkan kebahagiaan setiap hari dengan menyaksikan tumbuh kembang Ringin.

Sosok Ringin muncul kembali dengan sepasang gelas bambu di tangan. Gelas itu mengepul, membawa aroma jahe yang nikmat. "Silahkan, Paman, Bapak," kata Ringin sembari mengedarkan gelas itu bergantian. Ia kemudian duduk bersimpuh di samping Aswin.

"Silahkan diminum," Aswin mempersilakan, lalu mengambil gelasnya sendiri. Udara malam berhembus lewat pintu depan yang terbuka, membawa hawa dingin. Aswin segera menyesap minuman hangatnya untuk menangkal hawa dingin itu.

Pendekar Hantu tidak segera meminum wedangnya. Gelasnya terhenti di depan hidung. Kemudian sang pendekar menatap Ringin dengan sedikit canggung. Angin yang berhembus barusan menambah kecanggungan itu beberapa derajat.

"Nak, dikau campur apa minuman daku ini?" Segaris senyum tipis tergurat di wajah Pendekar Hantu.

"Jahe, air tebu, sereh," balas Ringin polos.

"Benarkah?" Senyum Pendekar Hantu merekah. "Sepertinya ada yang berbeda di minuman daku. Cobalah dikau santap minuman daku ini." Gelas yang terhenti di wajahnya kini tersodor ke depan Ringin.

"Oh, aku sudah minum punyaku di dapur," tanggap Ringin cepat.

"Sebenarnya ada apa ini, Tuan? Ringin?" Aswin yang kebingungan hanya bisa bertanya-tanya. Tatapannya melompat bolak-balik di antara Pendekar Hantu dan Ringin.

"Ringin memasukkan sesuatu ke sini," balas Pendekar Hantu. Senyumnya masih lebar.

"Tidak. Tidak ada," sanggah Ringin. Kepalanya bergeleng sementara tangannya mendorong gelas Pendekar Hantu.

"Kalau memang tidak ada, cobalah. Seteguk saja."

"Apa maksudnya ini, Ringin?" Aswin menatap Ringin dengan tajam.

Ringin tidak punya pilihan. Wajahnya terlipat, kesal. Ia mendecak dan merebut gelas di tangan Pendekar Hantu.

Ringin menenggak wedang jahe itu. Suara tegukannya cukup jelas terdengar .

"Cukup!" kata Pendekar Hantu, merebut kembali gelas itu dari tangan Ringin. Dengan bibir masih membentuk senyum, ia mendekatkan wajahnya pada Ringin. "Bagaimana?"

Lihat selengkapnya