Aksarastra

Listian Nova
Chapter #8

Bab 7: Astra

Perbukitan di tepian Kabupaten Kahuripan, wilayah utara Kerajaan Daha.

Hujan telah berhenti. Langit malam kini bersih tanpa gumpalan awan. Bintang-bintang bertaburan seperti intan yang tumpah ruah ke jalanan. Di bawah langit, sawah tanpa padi menghampar luas seperti cermin raksasa. Seorang begawan menekuri pemandangan itu di tegalan sawah. Ia mengamati rasi Gotongmayit di angkasa, kemudian menyapukan pandangannya pada hamparan sawah dan menghela napas.

Posisi rasi Gotongmayit di langit menandakan bahwa puncak musim penghujan sudah tiba. Bibit-bibit padi yang sudah semai barangkali akan ditanam di hamparan sawah itu besok hari, tapi malam ini sawah itu justru dijadikan medan pertempuran ... 

Panglima Utara, Patih Bahula. Ia mendapat gelar itu sepuluh tahun yang lalu. Sebagai salah satu pendekar terkuat di seantero Arcapadha, kenaikannya menjadi seorang panglima memang sesuatu yang sudah diduga-duga. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa gelar Panglima Utara sebenarnya membawa serta peran yang lain, yaitu sebagai pemimpin Chaya, badan telik sandi Kerajaan Daha.

"Api tidak mengusir kegelapan. Justru, api yang paling terang menciptakan bayangan paling pekat. Keduanya, api dan bayangan, merupakan senjata Kerajaan Daha."

Bahula mengenang pesan Mpu Bharada, orang yang menangkatnya menjadi Panglima Utara. Pesan itu bermakna bahwa sebagai panglima Kerajaan Daha, ia dianggap sebagai api harapan dan simbol keperwiraan. Namun sebagai pemimpin Chaya, ia laksana tabu, rahasia pekat yang tak boleh dilanggar oleh siapapun. Kedua peran itu merupakan kekuatan tak terlihat yang selama ini menjaga keberlangsungan Kerajaan Daha.

Bahula telah banyak berkorban demi menjalankan kedua identitasnya, termasuk kehilangan satu-satunya sahabatnya tujuh tahun yang lalu. Namun, betapapun penyesalan terus merundung pikirannya, ia terus saja mengemban peran ganda itu. Lagi-lagi, semua ini demi Kerajaan Daha.

"Jangan ragu!" kata seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Bahula, "Langkahmu sudah tepat."

"Baik, Romo." Bahula berusaha menutupi rasa kagetnya. Ia menghadap sosok itu dengan penuh takzim. "Mengapa Romo ada di sini?"

Sosok yang tak diduga kedatangannya itu adalah Mpu Bharada, sang Begawan Agung, ayah dari Bahula. Seharusnya Mpu Bharada sudah kembali ke Kotaraja setelah memimpin upacara keagamaan di Candi Kahuripan siang tadi. 

"Ada kabar gembira," balas Mpu Bharada. Sumringah menyisip di rimbun kumis dan jenggotnya. "Aku sampaikan nanti. Lanjutkan urusanmu dulu."

Bahula menunduk, tanda mengiyakan. Pandangannya kembali mengamati hamparan sawah dan perbukitan di depannya. Sang panglima sedang menunggu isyarat dari bahawannya di kejauhan sana.

Selama dua tahun ini, pemberontakan terjadi di beberapa wilayah sebelah utara Kerajaan Daha, terutama di Kabupaten Kahuripan. Pemberontak itu sangat teratur dan terorganisir, cukup untuk membuat pasukan keamanan Kerajaan Daha kewalahan. Hal ini membuktikan bahwa otak pergerakan mereka memiliki pengetahuan perang yang mumpuni. Bahkan, tak sedikit anggota kelompok pemberontak ini yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi.

Pemberontakan akhirnya mereda setelah Bahula turun tangan secara langsung. Sang panglima berhasil menggagalkan pemberontakan di berbagai tempat, bahkan sebelum upaya itu terjadi. Bahula beserta pasukannya kemudian memburu setiap anggota pemberontak itu tanpa kenal ampun. 

Para pemberontak itu belum menyerah. Mereka membuktikan sekali lagi kebolehan mereka. Pemberontak yang berhasil kabur dari perburuan Bahula membangun kembali kekuatan mereka dalam waktu singkat.

Namun, pemberontak itu salah perhitungan. Kebangkitan mereka bukan karena upaya mereka sendiri, tapi manipulasi dari Patih Bahula.

Sang panglima menginginkan agar pemberontakan ini tuntas sampai ke akarnya sehingga dengan sengaja membiarkan pemberontak itu menyerap lebih banyak lagi penghianat Kerajaan Daha ke dalam tubuh mereka. Lalu, setelah berhasil menggiring mereka ke perbukitan ini, Bahula meringkus mereka semua sekaligus. Bahula dan pasukannya seperti sekelompok anjing gunung yang dengan mudah menggiring domba-domba ke tepi jurang. 

"Ada dalang di balik layar," kata Bahula menyudahi peremungannya. Ia tahu, pemberontak ini belumlah semuanya. Dengan jaringan informasi Chaya, mudah saja mengetahui adanya kekuatan tersembunyi yang mengendalikan pemberontak ini seperti tali kekang pada kuda. Bahula melanjutkan sambil menatap lekat mata Mpu Bharada, "Saya bisa membasmi pemain-pemain di lapangan malam ini, tapi untuk para dalang yang bersembunyi di balik tembok istana ..."

Lihat selengkapnya