Keraton Dahana, Kotaraja—ibukota Kerajaan Daha
Sang putri terlelap di atas dipan empuk, yang berukir indah dan terletak atas serambi tinggi dalam ruang tidurnya. Di sekelilingnya, perabotan-perabotan mewah terbuat dari kuningan dan tanah liat bermutu bertebaran, menciptakan bayangan-bayangan yang ramai ketika tersentuh cahaya temaram dari pelita-pelita yang duduk di tatakan yang tak kalah mewahnya. Tidak ada yang biasa saja di ruangan luas dan tinggi itu, bahkan lantainya yang dilapisi oleh tikar anyam. Namun, semua perabotan mewah itu tidak bisa melindungi sang putri dari mimpi buruknya di beberapa malam terakhir.
Setiap malam, sang putri bermimpi bahwa dirinya adalah sekuntum bunga teratai yang kuncup. Ia tumbuh di tengah-tengah perairan tak bertepi. Tidak ada mentari ataupun bulan di langit, tapi seluruh semesta itu begitu terang, putih tanpa batas. Tidak ada hembus angin, bahkan tidak ada bayangan. Tidak ada apapun di bawah permukaan air kecuali warna putih yang sama cerahnya dengan langit. Permukaan itu begitu tenang, datar seperti pemukaan cermin raksasa.
Seperti semua ketenangan itu, sang putri tidak merasakan apapun. Kosong.
Lalu, hujan turun. Tak ada awan, tak ada angin, tetapi hujan benar-benar turun dalam semesta itu.
Hujan tersebut tidak menjatuhkan air, tetapi aksara-aksara yang sama sekali asing. Tak ada kekerabatan apapun dari aksara-aksara itu dengan bahasa yang pernah ia pelajari. Anehnya, meskipun ia tidak tahu aksara itu, sang putri bisa membaca bunyinya.
Aksara-aksara itu meluncur selambat biji mahoni yang terjatuh dari pohonnya, kemudian melebur sempurna dengan badan air di bawah tangaki bunga seroja.
“Ma, pa, la, ra, u, sa, dha.” Sang putri membaca nyaring satu per satu aksara itu. Setiap aksara yang ia baca tidak melebur ke dalam air, melayang-layang di muka air.
“Su, ra, mi, tha, ra, ra, we, ng …” Sang putri membaca aksara lain secara acak. Semua aksara itu mengambang di permukaan air secara acak, seperti daun-daun gugur yang bertebaran di permukaan danau.
Lalu hujan berhenti dan keheningan kembali. Saat sang putri mengamati aksara-aksara di permukaan air, mereka semua bersusun menjadi sebuah kata, lalu kalimat. Kalimat itu kemudian menjadi sepotong syair yang menyanyikan bunyi mereka sendiri ...
Seluruh semesta berpusar ke dalam syair itu. Langit, permukaan, bahkan sang putri yang berwujud bunga teratai, semuanya tersedot ke dalam pusaran itu. Ujung pusaran itu membawa penglihatan sang putri ke langit Kotaraja, ke atas rumah seorang bangsawan.
Sang putri meluncur ke arah rumah itu, menembus atapnya, dan tiba di sebuah kamar dengan sebuah cermin besar bersandar di salah satu sisi ruangan. Ia sedang berdiri di depan cermin itu. Akan tetapi, bukan sosok dirinya yang terpantul pada muka cermin itu.
Ia melihat segumpal sari bunga yang berpendar … memanggil namanya, “Kili. Kili Sanggramawijaya …”
Kili tersentak. Ia terbangun dalam keadan jantung berdebar-debar. Keringat merembes dari pakaiannya.