Ayam-ayam jantan berkokok di kejauhan, saling beradu. Derap langkah dan celoteh petani terdengar sayup dari jalanan, menyisip lewat jendela kamar Ringin yang terbuka lebar. Segaris semburat mentari pagi yang hangatnya masih kalah dengan hawa dingin sisa semalam jatuh pada kedua mata Ringin yang masih terpejam.
Kelopak mata Ringin terbuka. Bola matanya terasa sedikit sakit karena silau yang langsung meyorot. Ia terduduk dan menggosok-gosok mata, terlihat sedikit kecewa. Ia bangun terlambat, tidak seperti biasanya.
Malam itu adalah tidur paling nyenyak yang pernah dialami Ringin selama beberapa tahun ini. Ia bahkan bermimpi indah, sangat indah, sampai-sampai lupa ia harus segera bangun untuk mengurusi keperluan rumah tangga.
Ringin terkadang memimpikan sebuah tembang yang sama dalam tidur-tidurnya. Ia tidak tahu bahasa apa itu, juga tidak begitu hapal dengan nada-nadanya karena mimpinya tidak pernah begitu jelas. Namun, satu hal yang pasti adalah, bahwa tembang itu membuatnya merindukan sosok seorang ibu.
Kenapa ia tidak punya ibu? Kenapa ayahnya tidak punya istri? Pertanyaan-pertanyaan Ringin seputar sosok perempuan dewasa dalam rumah tangga ini tak pernah berhenti. Ringin sudah pernah mendapatkan jawaban dari ayahnya, tapi bukan berarti ia sudah puas. Terlebih, anak-anak seusianya seringkali mengejek keadaannya yang piatu itu.
Ringin tidak tahu bagaimana tidak beribu adalah sebuah kesalahan atau bahkan sebuah aib. Ia banyak mendengar bisik-bisik tetangga bahwa dirinya tidak terdidik dengan baik karena tidak punya ibu. Namun, tentu saja Ringin tidak pernah menerima omongan itu. Nyatanya, anak-anak lelaki mereka sendiri tumbuh jadi anak manja dan senang menindas meskipun punya ayah dan ibu sekaligus. Bahkan, Ringin sempat berpikir bahwa seorang ibu adalah penyebab utama anak laki-laki di dusun ini jadi manja.
Tentu saja tidak semua anak lelaki di Dusun Alas Amba ini manja. Jumlah mereka mungkin hanya segelintir, tapi segelintir itu seringkali banyak bicara, banyak bertingkah, sehingga itu-itu sajalah yang menonjol; keburukan, lalu keburukan lagi. Dan entah mengapa, Ringin yang selalu menjadi sasaran keburukan itu.
Ayahnya pernah berkata, orang-orang jahat semakin banyak karena orang-orang baik berdiam diri. Maka, Ringin kecil tidak menahan diri ketika orang lain berbuat jahat kepadanya. Sampai kapanpun, Ringin akan memegang teguh mandu tersebut, meskipun ayahnya juga tak jarang mengatakan hal-hal yang bertentangan; misalnya bahwa diam dan bersikap tak acuh seringkali menjadi cara terbaik untuk membalas perbuatan orang lain yang tak menyenangkan.
Ringin sering tidak sepakat dengan cara-cara damai ayahnya. Tidak bisa, meskipun ia sebenarnya mengakui bahwa cara-cara damai itu ada. Ringin tidak pernah bisa bersikap biasa saja ketika anak-anak lain tertawa mengejeknya, lebih-lebih merundungnya. Ia akan selalu membalas mereka. Itu pasti.
Sejauh ini, balas dendam terbaiknya adalah pada Jaka dan Ireng. Jaka adalah anak bungsu kepala dusun, anak lelaki paling manja yang pernah diketahui Ringin. Sementara Ireng adalah pendekar dari Perguruan Ajigeni yang dikirim untuk menjadi penjaga di Dusun Alas Amba sebagai salah satu wilayah perbatasan Kerajaan Daha. Pendekar berkulit gelap itu sangat dekat dengan keluarga kepala dusun karena sering mendapat hadiah. Sosok Ireng inilah yang membuat Ringin punya kesan yang tidak menyenangkan pada golongan pendekar, karena menurutnya, alih-alih melindungi yang benar para pendekar justru membela mereka yang bisa bayar.
Selama ini, Ringin selalu menuntaskan dendamnya dengan tinju, tapi menghadapi Jaka yang dilindungi Ireng, Ringin bahkan jadi tidak bisa menyentuh anak itu. Namun, Ringin selalu punya cara balas dendam, bahkan untuk menghadapi pendekar yang berkali lipat lebih kuat sekalipun.
Jamur tahi sapi. Seperti namanya, jamur ini tumbuh di atas gundukan kotoran sapi. Siapapun yang melahapnya akan didera halusinasi parah. Ringin mencampurkan potongan-potongan kecil jamur tahi sapi yang tumbuh di kandangnya ke dalam sajian keluarga kepala dusun. Dalam waktu singkat, satu keluarga itu jadi seperti orang gila. Ada yang berhalusinasi dirinya sebagai pohon dan berdiri lama sekali, melambai-lambai seperti pohon ditiup angin. Ada juga yang berguling-guling di tanah karena berhalusinasi menjadi roda kencana. Jaka, sasaran utama Ringin, berlari telanjang mengelilingi rumahnya ... entah halusinasi macam apa yang mendera anak itu.
Sementara Ireng, yang biasa bersantap bersama keluarga kepala dusun, juga tak luput dari pengaruh jamur itu. Sang pendekar yang katanya menguasai teknik tenaga dalam tingkat tinggi itu ternyata tunduk juga di bawah halusinasi. Dalam keadaan mabuk, Ireng memeluk sebuah pohon dan merengek sambil berderai air mata. Ia mengira bahwa dirinya adalah seorang gadis yang ditinggal kawin oleh kekasihnya.
Seisi dusun geger karena kejadian itu. Warga mengira bahwa demit telah mengganggu keluarga itu. Beruntung dukun dusun bisa mengobati keluarga itu, dan menyatakan bahwa kejadian itu tidak ada sangkut pautnya dengan demit, siluman, dan semacamnya. Setelah mengetahui bahwa peristiwa itu disebabkan karena jamur tahi sapi, kepala dusun bersumpah akan menangkap dan menghukum berat pelakunya. Namun, itulah kesempatan balas dendam yang sudah dinanti oleh Ringin ...
Ringin sudah memasukkan potongan-potongan jamur tahi sapi ke dalam kantung uang miliki Jaka ... dan tentu saja, Jaka yang tidak tahu apa-apa kena batunya. Ringin memang tidak bisa melayangkan tinju ke mata Jaka, tapi pukulannya sudah tersalurkan lewat rotan kepala dusun yang melecuti bokong tebal anak itu. Sementara untuk Ireng, pendekar itu sempat menghilang dalam waktu lama lantaran malu. Orang-orang dusun bergunjing, jangan-jangan sosok asli dalam diri sang pendekar perkasa adalah gadis cengeng yang tersedu sambil memeluk pohon itu ...
Sejak kejadian itu, Ringin semakin tidak takut untuk membalas orang yang mengganggunya. Sejak itu pula ia tidak pernah menganggap para pendekar lebih tinggi dari orang-orang biasa. Oleh karena itulah, ketika Pendekar Hantu bertamu sore kemarin, Ringin sudah memandangnya dengan sinis.
Ringin ingin menguji Pendekar Hantu. Ia ingin melihat sang pendekar jadi mabuk seperti Ireng, seperti orang-orang biasa yang tidak tahu menahu soal ilmu silat. Begitulah ... seorang korban perundungan seringkali balik jadi perundung setelah mendapat kekuatan atau kekuasaan, tapi Ringin yang masih polos tidak menyadari hal itu.
Ringin mengingat-ingat kembali kejadian kemarin sore. Jantungnya nyaris copot karena berdebar terlalu kencang saat Pendekar Hantu menyadari keusilannya. Beruntung, sang pendekar tidak menghajarnya saat itu juga. Ringin ingat cerita Pendekar Hantu tentang dirinya di masa kecil. Barangkali, cerita bahwa dirinya diurus oleh Pendekar Hantu sewaktu bayi itu benar. Itulah kenapa dirinya masih baik-baik saja setelah berusaha mengerjai sang pendekar.
"Ringin," panggil Aswin yang tiba-tiba sudah bersandar di bingkai pintu kamar. "Kau sehat, Nak?"
Lamunan Ringin buyar. Ia menoleh ke arah Aswin yang berjalan mendekat. "Iya, Bapak," balas Ringin sambil mengangguk.
"Kau benar sehat?" tanya Aswin lagi sambil memeriksa Ringin. Telapak tangannya menyentuh beberapa titik di tubuh Ringin.
"Sehat, Bapak. Ringin bisa langsung bekerja sekarang."
Aswin mengangguk. "Ya sudah, kalau begitu segera urus sapi dan kerbaumu."