Aksarastra

Listian Nova
Chapter #12

Bab 11: Semalam Sebelum

Siang dan malam sebelum Upacara Kedewasaan Putri Kili digelar, seluruh abdi istana Keraton Dahana disibukkan dengan berbagai macam urusan. Sebagian menyiapkan keperluan upacara, sebagian lagi mengurusi tamu-tamu penting baik dari dalam maupun mancanegara. Tak ada abdi istana yang tak sibuk dalam perhelatan besar itu. Bahkan tak sedikit yang sampai pingsan karena kelelahan.

Upacara Kedewasaan keturunan Raja Daha bukan pertama kali diadakan, tapi menyiapkan segalanya dalam waktu sepuluh hari baru terjadi kali ini sepanjang sejarah silsilah keluarga kerajaan itu. Yang para punggawa tahu, upacara ini digelar terburu-buru sebagai penghormatan kepada para Bathara karena memberkahi Putri Kili dengan kedewasaan yang sangat cepat.

Banyak kalangan mengaku baru pertama kali mendengar berkah semacam itu. Namun, para Begawan Tinggi dari Kuil Mahameru meyakinkan semua orang bahwa hal ini memang tersebut dalam Ajaran Mahameru. Selama ini, berkah para Bathara serupa yang diterima oleh Putri Kili memang hampir tidak pernah terdengar karena memang merupakan sesuatu yang sangat langka.

Datang bulan yang cepat menunjukkan bahwa sang putri memiliki tingkat kesuburan yang sangat tinggi. Para Begawan Kuil Mahameru lebih jauh menjelaskan bahwa dari rahim Putri Kili kelak akan lahir seorang maharaja yang memiliki kemampuan untuk menyatukan seluruh Arcapadha. Menunda lebih lama pergelaran Upacara Kedewasaan untuk sang putri artinya tidak mensyukuri berkah tersebut.

Tidak ada orang yang kaget dengan pernyataan yang lebih terdengar seperti nubuat tersebut. Bahkan sebelum Putri Kili lahir, Kerajaan Daha sudah menjadi kerajaan paling adikuasa di Arcapadha. Jangankan ditambah seorang Maharaja, satu orang Begawan Agung saja sudah cukup untuk membuat seluruh dunia segan.

Pada akhirnya, tak ada lagi pihak yang mempertanyakan perhelatan upacara yang sangat digesa-gesakan ini. Bahkan jika ada yamg hendak menggugat, apa yang bisa mereka lakukan di hadapan Mpu Bharada?

***

Hanya tinggal semalam sebelum Upacara Kedewasaan Putri Kili tiba. Pengurus istana masih sibuk ke sana kemari menyiapkan segala sesuatunya. Sementara keluarga raja sudah tidur, menjaga keadaam tubuh mereka tetap prima sampai perhelatan esok hari.

Di sebuah bukit di tak jauh dari kompleks Keraton Dahana, Patih Bahula terlihat sedang memasuki sebuah gubuk kecil. Dinding gubuk itu terbuat dari susunan bambu-bambu pucat, sementara atapnya berupa tumpukan jerami kering; sungguh sebuah bangunan yang sangat menyelisihi kemegahan Keraton Dahana.

Namun, begitu Bahula melewati pintu gubuk itu, tersingkaplah sebuah balairung yang luas dan gemerlap. Pelita-pelita menyala dalam wadah bertatah emas. Hidangan mewah tersaji di atas meja-meja kecil yang berbaris di tengah. Mengelingi sederet meja itu dipan-dipan berlapis sutra terhampar, tersusun dalam bentuk persegi panjang dengan dipan yang paling ujung sebagai sorotan utama. Dipan itu lebih tinggi, lebih empuk dan mentereng. Di atasnya, Mpu Bharada duduk bersandar, segelas secang merah menempel di bibirnya.

"Salam hormat, Guru," Bahula mempersembahkan hormatnya pada Mpu Bharada. Kemudian ia mengedarkan pandangannya, memberi salam pada tamu-tamu lainnya. "Salam, Kakang."

Mpu Bharada mengibas tangan dengan santai, diikuti balasan salam Begawan-begawan lain yang merupakan murid Mpu Bharda sekaligus kakak seperguruan Bahula.

Bahula segera duduk di atas salah satu dipan yang kosong. Ada delapan dipan pendek di balairung itu, namun hanya empat yang terisi. Setelah Patih Bahula mengisi salah satunya, kini ada tiga dipan yang kosong. Tatapan Mpu Bharada jatuh pada ketiga dipan pendek yang kosong itu.

"Tujuh tahun yang lalu," kata Mpu Bharada, meletakkan gelasnya, "Empat saudara kalian bergabung dalam penumpasan Sasramala di Desa Girah ..."

Semuanya hening. Pertemuan rahasia itu dimulai dengan sebuah pengingat akan kejadian buruk di masa lalu.

Lihat selengkapnya