Persiapan Upacara Putri Kili yang hanya beberapa hari terasa seperti berjalan selamanya. Selutuh tenaga dikerahkan, waktu tidur dipangkas, dan pikiran dikuras sampai nyaris kering. Namun setelah hari itu datang, abdi istana dapat bernapas lega. Urusan mereka jauh berkurang. Kini berjalannya upacara itu ditangani oleh para punggawa selaku pelaksana adat, juga oleh para Begawan baik dari Asrama Daha maupun yang jauh-jauh datang dari Kuil Mahameru.
Sakem, salah satu abdi istana yang terus bekerja sejak beberapa malam yang lalu, menyandarkan punggungnya yang lelah ke tembok. Sesekali kepalanya memutar, mengawasi kalau-kalau ada punggawa yang memergokinya karena bermalas-malasan padahal acara masih berlangsung. Sakem merasa lebih lelah dibanding kawan-kawannya, sebab ia tidak bisa tidur nyenyak malam-malam ini. Putri Kili selalu memintanya untuk menyanyikan tembang tidur setiap malam, dan celakanya, ketika sang putri kembali terjaga akibat mimpi buruk, dirinya juga akan terbangun. Padahal, ia hanya tidur beberapa saat saja. Sakem tak menyangka, setelah itu semua dirinya bisa berjalan tegak seharian ini.
Sakem mengelap titik-titik peluh yang rimbun di keningnya. Ia tidak tahu dari mana datangnya keringat itu, padahal langit sedang mendung dan hawa sejuk berhembus dari kaki gunung sepanjang waktu.
Sakem melongok ke bawah, ke pada tangga batu andesit yang bersusun rapi. Ia menanti-nanti kedatangan Putri Kili ke tempat ini, di puncak Dewanagari, kompleks candi Kerajaan Daha. Tidak hanya Sakem, tapi juga dayang-dayang lain.
Ketika Sakem memperhatikan kawan-kawannya, ia menyadari bukan dirinya saja yang berkeringat di hari yang sejuk ini ...
Sakem tahu sendiri bagaimana Putri Kili memiliki masalah tidur akhir-akhir ini. Hal itu menyebabkan sang putri tidak bisa mengikuti pelajaran khusus untuk mempersiapkan Upacara Kedewasaan dengan baik. Ratu Galuh memang kemudian membantu Putri Kili untuk mengulang pelajaran secara pribadi, tapi Sakem tidak bisa yakin kalau sang putri akan memahami seluruh pelajaran itu.
Jantung Sakem kini berdebar lebih kencang. Ia benar-benar khawatir kalau-kalau Putri Kili gagal menjalankan prosesi upacaranya dengan baik. Sebab, yang akan mendapat hukumannya nanti adalah para dayang yang bertugas mendampingi dan mengajari sang putri, lebih-lebih dirinya yang merupakan dayang pribadi Putri Kili.
Upacara Kedewasaan Putri Kili dimulai dari alun-alun Kotaraja, lalu berpindah-pindah sesuai dengan tahap-tahapnya, seperti sebuah ziarah keagamaan. Dan tahap terakhir adalah di sini, di puncak Dewanagari, tepatnya di Candi Bathara Guru. Sebagai petugas yang ditempatkan di sini sejak pagi tadi, Sakem tidak bisa melihat bagaimana jalannya prosesi upacara di bawah sana.
"Datang, datang!" seru seorang punggawa yang muncul dari bawah tangga. "Putri Kili datang!"
Sakem bernapas lega. Akhirnya sang putri datang! Artinya seluruh prosesi yang berlangsung sebelumnya berjalan dengan baik-baik saja. Berbeda dengan Upacara Kedewasaan rakyat jelata yang biasa dilakukan secara massal dan hanya berupa dua prosesi, upacara yang dilakukan oleh keluarga kerajaan berkali-kali lebih banyak dan rumit. Selain itu, upacara yang dilakukan Putri Kili dihadiri dan ditonton oleh ribuan orang, sehingga tak satupun prosesinya yang boleh bercela.
Alunan musik mulai terdengar dari bawah. Sakem kembali melihat ke dasar bukit. Pandangannya menemukan sosok Putri Kili yang terlihat cantik, anggun, dan sangat luar biasa.
Dada Sakem terasa sesak karena bahagia.
***
Ratu Galuh bergerak bersama rombongan keluarga kerajaan ke Candi Bathara Guru. Ia berada dalam kereta kencana bersama suaminya, Raja Erlangga, yang entah kenapa sering berwajah masam akhir-akhir ini. Di depan keramaian, wajah suaminya itu tersenyum, namun kini, dalam perjalanan yang lebih sepi, wajah tampan itu kembali cemberut.
"Kakanda," ucap Ratu Galuh lembut, "Sebenarnya ada apa?" Sang ratu mengulangi pertanyaan yang sama dengan semalam.
"Tidak mengapa, Adinda," balas Raja Erlangga. Jawabannya selalu sama. "Aku hanya sedikit lelah."
Ratu Galuh tersenyum. Tangannya melingkar di leher Raja Erlangga dan memberikan suaminy itu pijatan ringan. "Anak-anak kita sudah dewasa semua," bisik Ratu Galuh, "Berbahagialah."
Raja Erlangga tak bisa menahan senyumnya. Ia teringat akan cita-citanya yang sederhana, yaitu pensiun lebih dini dan menghabiskan sisa usia bersama istrinya di suatu tempat yang jauh. Namun, mimpi itu belum bisa terwujud, tidak sebelum ia bisa memastikan Kerajaan Daha diteruskan oleh tangan yang tepat. Anak-anaknya memasuki usia dewasa saja belum cukup.
"Jadi dewasa bukan sesuatu untuk dirayakan, Dinda," kata Raja Erlangga, "Justru masalahnya akan semakin banyak." Sang raja tertawa kecil.
Ratu Galuh terkekeh, tertular tawa dari suaminya. "Ya justru itu. Karena mereka sudah dewasa, mereka sudah harus mengurus diri mereka masing-masing."
"Maka dari itu," kata Ratu Galuh lagi, "Kau harus percaya pada kemampuan mereka."
Raja Erlangga terdiam. Ia menoleh ke belakang, ke arah dua kencana terpisah yang berisikan dua anak lelakinya, Pangeran Wijaya dan Pangeran Panji. Tatapannya kemudian melekat pada salah satu kencana pangeran itu.
"Kau benar. Mereka pasti bisa mengatasi masalah mereka," balas Raja Erlangga tanpa menoleh. Meski berkata demikian, sang raja punya pikiran yang beertolak belakang ... ingatannya memutar kembali daftar nama petinggi yang terlibat dalam gerakan pemberonta di Kahuripan. Nama-nama itu sebagian besarnya berasal dari faksi pendukung Pangeran Wijaya.
"Ada apa, Kanda?" tanya Ratu Galuh, turut menengok ke belakang.
"Tidak. Tidak mengapa." Raja Erlangga melepas tatapannya, menghadap ke depan dan mengintip puncak Dewanagari lewat bahu sais kencana. "Sebentar lagi sampai," katanya mengalihkan perhatian.
Wajah Ratu Galuh berseri-seri melihat puncak itu. Di sana ia akan menjumpai Kili, putrinya, yang telah menjalankan prosesi Upacara Kedewasaan dengan baik sekali. Senyumnya menyiratkan kebanggan. Sang ratu menyayangi Kili seperti darah dagingnya sendiri, tak berbeda sedikitpun dengan kedua anak kandung lelakinya.