Setelah Upacara Kedewasaan Putri Kili berakhir, penduduk Kotaraja tenggelam dalam kemeriahan pesta rakyat. Makanan dalam jumlah besar dibagikan. Berbagai macam pertunjukan disuguhkan. Berbagai macam dagangan laris di pasar-pasar, diborong terutama oleh pengunjung dari luar. Dari sore sampai larut malam, ratusan orang tumpah ke jalanan, bersenang-senang di kota terbesar di Arcapadha itu. Namun, tidak semua orang di kota itu turut merayakan. Tidak semua orang turut bersenang-senang.
Di sebuah gubuk reyot di belakang bangunan utama Keraton Dahana, Mpu Bharada dan murid-muridnya dengan serius membahas langkah mereka selanjutnya. Balairung yang secara ajaib berada di dalam gubuk sempit itu membatasi mereka dari hiruk pikuk di luar sana. Tidak ada suara yang masuk, pun tidak ada suara yang keluar.
"Tidak salah lagi. Ini Sastrajendra yang sesungguhnya," kata Mpu Bharada. Seperti biasa, pertemuan itu selalu diawali olehnya. "Bahkan para Bathara sangat menjaganya."
Tidak ada satupun murid sang Begawan Agung yang meragukan keaslian Sastrajendra yang bersemayam di dalam Kili. Namun, penegasan dari Mpu Bharada barusan menekankan betapa tidak mudahnya menguasai Sastrajendra ini.
"Ribuan tahun yang lalu, para Bathara menghancurkan Maharaja Rahwana dan seluruh peradaban yang dibangunnya," lanjut Mpu Bharada, "Semuanya karena sang maharaja memiliki pengetahuan dalam Sastrajendra."
"Dan untuk alasan yang sama, aku tidak bisa memberitahu kalian secara rinci tentang apa yang aku lihat dalam jiwa anak itu," tutup Mpu Bharada. Pembukaan yang sangat singkat.
Tidak ada yang menyangkal keputusan Mpu Bharada untuk tidak memaparkan hasil penerawangannya. Mereka semua penasaran, tetapi tidak ada yang berani menanyakan.
"Lalu, apa langkah kita berikutnya, Guru?" tanya Karna, membuka pembicaraan selanjutnya.
"Tidak ada yang berubah," balas Mpu Bharada, "Hanya saja kita harus bergegas mengumpulkan pecahan-pecahan Sastrajendra sebelum ..."
Kata-kata Mpu Bharada terpotong. "Bahula," panggil sang Begawan Agung, mengubah pembicaraannya di tengah-tengah.
"Siap perintah, Guru," balas Bahula sigap. Saat yang lain hadir, Bahula memanggil ayahnya dengan sapaan itu.
"Bagaimanapun caranya, putuskan hubungan dengan Kuil Mahameru. Para pemuja Bathara itu akan menghalangi kita untuk mendapatkan Sastrajendra," kata Mpu Bahula lagi, "Terutama Begawan buta itu."
"Apa saya perlu menyingkirkannya?"
"Kalau bisa, lebih baik. Informasi yang dia punya berbahaya. Lagipula Sastrajendra akan memberi petunjuk setiap malam lewat mimpi anak itu."
"Guru, apa tidak berbahaya? Musuh kita sudah banyak. Kuil Mahameru masih bisa jadi sekutu yang baik," potong Karna. Sebagai orang yang berperan sebagai ahli strategi dalam kelompok itu, ia memang sangat berhati-hati.
"Musuh dalam selimut jauh lebih berbahaya daripada musuh yang tampak jelas," balas Mpu Bharada. "Percayalah Karna, apa yang aku lihat siang tadi memperjelas semuanya. Tidak ada lagi yang bisa diambil dari Kuil Mahameru. Teruslah bekerja sama dengan mereka dan kita akan berakhir sebagai pecundang."
"Lalu bagaimana dengan petunjuk terakhir dari Mahameru itu, Guru?" tanya seorang murid yang lain. Namanya Tama, seorang guru ilmu kenegaraan.
"Informasi itu benar. Pecahan Sastrajendra terbesar memang berada di tangan Ratu Kidul," balas Mpu Bharada. "Tapi niat mereka sama seperti Anggada tujuh tahun yang lalu. Mahameru ingin mengadu Daha dengan Laut Selatan."
Yang lainnya bergeming. Tujuh tahun yang lalu, tiga saudara mereka tewas dalam perebutan Sastrajendra dari tangan Sasramala. Sebesar apa pengorbanan yang akan mereka derita jika mereka berurusan dengan Ratu Kidul?