Aksarastra

Listian Nova
Chapter #16

Bab 15: Permainan Kata

"Ringin, ikut aku!" perintah Aswin, lalu turun ke jalan dengan langkah bergegas. "Jangan jauh-jauh dari Bapak," katanya lagi.

Ringin kebingungan, tapi ia menurut saja dan segera mengekor tak jauh dari ayahnya sambil setengah berlari. Ia baru tahu ayahnya bisa berjalan secepat ini.

Keduanya berhenti di depan rumah kepala dusun. Kebetulan saat itu sang pemilik rumah sedang berada di luar, menyalakan pelita di halamannya.

"Pak Roto," sapa Aswin singkat. Tangannya terjulur. Di telapak tangannya yang terbuka ada sejumput rambut hitam kehijauan. "Ada Wanara di sekitar hutan. Kita harus segera mengungsikan warga, Pak."

Roto, kepala dusun, menatap Aswin dengan kebingungan. Matanya melirik bergantian dari wajah lalu ke tangan Aswin. "Apa maksudmu?"

"Ringin menemukan ini tak jauh dari tepi hutan. Masih segar. Saya yakin rambut ini berasal dari regu pengitai mereka."

Aswin mengatakan itu dengan sungguh-sungguh. Namun tawa langsung kepala dusun meledak mendengar itu.

"Kau salah minum obat, ya?" seloroh Roto. "Mana berani monyet-monyet besar itu datang kemari. Mau mati mereka?"

Roto tertawa lagi. Wajahnya menoleh ke dalam rumah. Dari balik pintu muncul sosok Ireng, pendekar penjaga dusun itu. Dengan setengah berteriak, Roto memanggil pendekar itu. "Hei, Ireng. Katanya ada Wanara yang sedang mengintai dusun."

Ireng datang mendekat. Tubuhnya yang kekar dan tinggi membuatnya langsung menonjol di antara tiga lelaki dewasa itu. "Kau pasti mengigau," kata Ireng sinis. Senyumnya tampak jelas meremehkan Aswin.

"Coba kau lihatlah sendiri," balas Aswin, nenyodorkan rambut kehijauan di tangannya.

Ireng mengamati rambut itu sejenak, tampak tidak terkesan. Lalu berkata dengan nada mengejek yang sama, "Kau tahu dari mana ini rambut Wanara?"

"Kau pikir rambut apa lagi yang bisa berwarna hijau seperti ini? Anjing? Ayam?"

Air muka Ireng berubah. Ia tampak sedang berpikir. "Kalaupun ini memang Wanara, terus kenapa? Ini bukan pertama kali ada penampakan Wanara di sekitar sini."

Aswin menggeleng. "Itu cerita bohong. Kalau benar ada orang yang melihat Wanara di sekitar sini, orang itu tidak akan baik-baik saja dan bisa bercerita seperti itu."

Ireng dan Roto saling menatap. Keduanya memang tidak pernah melihat Wanara secara langsung. Mereka hanya tahu Wanara dari cerita yang beredar luas. Itupun ada banyak sekali ragamnya.

"Ya, kalau benar itu Wanara, lalu kenapa? Toh dia tidak mengganggu," kata Roto. Sikutnya mencolek lengan Ireng, lalu menambahkan, "Kalaupun sampai masuk dusun, ada Ireng dan kawan-kawannya. Bisa apa makhluk tak berakal itu?"

Aswin menghela napas ... ia menyayangkan kepolosan kepala dusun dan pendekar itu. Bangsa Wanara memang dikenal masyarakat umum sebagai suku pedalaman yang primitif, bahkan lebih sering dianggap sekedar hewan buas dengan kecerdasan setingkat anak usia 5 tahun. Namun, Aswin sangat tahu bahwa hal itu tidaklah benar. Wanara bukan makhluk bodoh, apalagi tak berakal. Mereka memiliki kemampuan belajar dan beradaptasi yang tidak kalah dengan bangsa manusia. Tindakan mereka mengasingkan diri di kedalaman hutan selama ini justru karena mereka cukup cerdas untuk memahami konsekuensi dari perjanjian batas wilayah.

Puluhan tahun yang lalu, Kerajaan Daha menyudutkan bangsa Wanara ke hutan maha luas di luar dusun ini. Pihak Wanara menyerah dan setelah itu setuju untuk menaati sebuah perjanjian bilateral. Salah satu isi perjanjian itu adalah tentang pembatasan wilayah yang sangat ketat ... Wanara tidak boleh melanggar perbatasan wilayah Daha, dan sebaliknya, Wanara berhak menghabisi siapa saja yang menerobos batas wilayah mereka di Hutan Alas Amba.

Aswin hampir putus asa. Namun ia segera memahami sudut pandang dari lawan bicaranya. Pelajaran sejarah tentang Wanara ini hanya didapatkan lewat sekolah-sekolah yang berada di wilayah setingkat kabupaten ke atas. Sementara di dusun ini, bahkan hampir seluruh penduduknya masih buta huruf.

"Begini, Pak Roto. Kita semua tahu kalau Wanara itu suka menyusup diam-diam. Lalu, kalau tidak mencuri ternak, ya menculik anak-anak. Bagaimana nanti kalau Jaka, anak bapak, diculik diam-diam dari kamarnya nanti malam?" ujar Aswin. Ia mencoba untuk menggunakan pendekatan lain. Jika pengetahuan belum sampai ke kepala mereka, Aswin bisa memanfaatkan ketidaktahuan itu untuk menyulut rasa waswas di hati mereka.

Cara Aswin memainkan kata berhasil. Wajah Roto mendadak berubah. Dulu, memang pernah beredar cerita tentang Wanara yang kerap mencuri ternak dan menculik anak-anak. Namun, tentu saja cerita itu hanya dongeng belaka ...

Roto menoleh ke arah Ireng. Katanya dengan cemas, "Reng, kau cobalah keliling dusun malam ini. Terutama di sekitar hutan. Ajak saja kawan-kawanmu itu."

Ireng mendecak tanda tak setuju, tapi ia tidak bisa menolak permintaan kepala dusun yang selama ini memanjakannya. Apalagi memang sudah tugasnya untuk melindungi dusun ini, termasuk juga berpatroli secara rutin.

"Ya, sudah," balas Ireng. "Aku saja cukup."

"Bawa semua pendekar dan perangkat pengamanan dusun," kata Aswin lagi, matanya melirik ke arah Roto. "Kau tahu kan Wanara ini suka berkelompok?"

Lihat selengkapnya