Ireng berjalan mondar-mandir di tepian hutan. Ia sudah berada di situ lama sekali, dari akhir senja sampai larut malam menjelang fajar. Sampai saat itu, belum ada tanda-tanda pergerakan seekor babi hutan pun.
Ireng memandang ke arah dusun, mengamati kelap-kelip cahaya di kejauhan. Titik-titik cahaya itu berasal dari obor-obor di jalan dan pekarangan rumah warga. Ia merasa semakin kesal. Seharusnya ia sekarang berada di salah satu rumah itu, bergumul bersama bunga dusun di ruangan temaram dan hangat ... tapi sialnya, di sinilah ia sekarang. Bergumul bersama nyamuk dan dingin dalam kegelapan.
"Undian sialan," umpat Ireng. Wilayah meronda malam itu ditentukan berdasarkan hasil undian. Ia dan seorang prajurit lain mendapat tempat meronda di tepi hutan. Dan karena Ireng tak sudi masuk lebih dalam, hanya prajurit malang itu yang meronda sampai benar-benar masuk hutan.
Sekitar 1000 dpa ke dalam hutan merupakan wilayah hutan yang sering digunakan warga untuk mencari penghidupan sehari-hari. Lebih jauh dari itu, terdapat sungai besar yang memotong hutan, sekaligus menjadi patokan batas aman di mana warga bisa berkegiatan. Meski begitu, tidak ada warga yang berani mendekati sungai tersebut karena berbagai keangkeran yang sering didesas-desuskan. Untuk memenuhi kebutuhan air mereka, warga menggunakan aliran sungai yang lebih kecil di barat dusun, yang merupakan pecahan sungai besar tersebut.
"Asem! Bikin capek saja," umpat Ireng lagi, meski sedari tadi ia hanya berputar-putar di tempat yang sama. "Dari mana ada ceritanya monyet-monyet itu berani mengganggu manusia?" Keluhnya lagi.
Usai berkata demikian, ekor mata Ireng menangkap sesuatu bergerak dalam kegelapan hutan. Lalu sesuatu melambung, mendarat beberapa langkah di depannya dan menggelending sebentar. Ireng mengarahkan nyala obornya pada benda itu.
"Jancuk!" Ireng memekik. Rambut-rambut di tengkuknya berdiri ketika menyadari benda di hadapannya itu ... sebuah kepala tanpa hidung dan telinga. Ireng mengenal pemilik kepala itu dari rambutnya. Itu prajurit malang yang ia biarkan meronda sendirian ke dalam hutan.
"Siapa di sana?" teriak Ireng sambil memasang kuda-kuda bertahan. Sebagai seorang pendekar lulusan Perguruan Ajigeni, pemandangan seperti itu tidak boleh membuatnya gentar.
Sekelebat bayangan bergerak lincah dari kegelapan. Bayangan itu melompat ke kiri dan ke kanan, lalu menerjang ke arah Ireng. Bayangan itu segera terbilas cahaya obor dan mengungkap wajah seekor monyet dengan rahang menganga. Dalam sekejap, gigi-gigi runcing itu tinggal selangkah saja dari leher sang pendekar.
Namun Ireng tak kalah gesit. Ia berkelit ke samping dengan gerakan memusing. Di akhir putaran itu, tinjunya berayun dengan tenaga yang luar biasa besar. Lawannya melambung ke udara dan jatuh menghantam sebuah pohon. Dahan-dahan tua pohon itu langsung rontok karena benturan keras yang menimpa batangnya.
Ireng tersenyum puas. Pukulan penuh tenaga dalam tadi dapat meretakkan batu besar, dan pukulan semacam itu mendarat telak di dada lawannya. Monyet besar itu pasti mampus, pikirnya.
Namun senyum Ireng pupus begitu saja. Lawannya ternyata belum tamat. Tubuh Wanara itu kembali bangkit, terhuyung tapi tidak remuk seperti yang dikira Ireng. Dalam keremangan, Ireng melihat selempeng zirah penyok terpasang di dada Wanara itu. Sejurus kemudian, Ireng merasakan sakit yang luar biasa pada tinjunya. Jemarinya patah.
Ireng berteriak kesakitan. Obornya terjatuh. Tangan satunya memegangi tinjunya yang berdarah, berusaha meluruskan tulang-tulang jari yang bengkok.
Wanara itu tidak memberi kesempatan dan kembali menerkam Ireng. Kali ini tidak secepat sebelumnya.
"Monyet sialan!" pekik Ireng. Kemudian sikunya menghantam telinga Wanara itu, diikuti sebuah tendangan, lalu sebelah tinjunya. Tiga serangan beruntun pada kepala akhirnya menumbangkan Wanara itu. "Mampus kau, monyet keparat!"
Ireng memenangkan pertarungan itu. Namun semuanya belum berakhir ... tepat setelah tubuh Wanara itu tersungkur ke tanah, sosok lain muncul dari kegelapan hutan.
Ireng segera memasang kuda-kudanya kembali. Tenaga dalam beredar di seluruh tubuhnya. Udara di sekitar tangannya bergelombang, memuai karena panas yang diciptakan telapaknya. Itu Jurus Telapak Api andalan Perguruan Ajigeni. Kali ini Ireng akan mengerahkan seluruh kemampuannya, bersumpah akan menghabisi Wanara itu satu per satu.
Namun sosok Wanara yang ditunggu-tunggu Ireng tidak meneruskan langkah keluar hutan. Sebagai gantinya, sebuah lembing melesak, menyasar kepala sang pendekar.