Semalaman itu Aswin tidak tidur. Ia sedang duduk bersila, bersandar pada tembok di kamar Ringin. Matanya memang terpejam, tetapi telinganya tetap terpasang. Ia berjaga-jaga kalau-kalau peluit tanda bahaya dibunyikan. Peluit itu adalah tanda bahaya ketika musuh terlihat pertama kali. Artinya, ia masih punya cukup waktu untuk melarikan diri sebelum musuh mencapainya.
Tentu saja Aswin tidak ingin tanda bahaya itu dibunyikan. Ia berharap hari ini dan seterusnya berjalan damai seperti biasanya ... ia terus berharap demikian meskipun firasatnya terus menerus berkata sebaliknya.
"Bapak," panggil Ringin tiba-tiba.
Aswin membuka matanya dan menoleh. Mata anak itu rupanya sudah terbuka lebar. "Kau sudah bangun dari tadi?"
Ringin mengangguk. "Ringin mimpi ..." kata anak itu. Nadanya datar seperti sedang mengantuk berat. "... katanya akan ada pasukan yang datang."
Jantung Aswin tiba-tiba berdegup kencang sekali. Firasat buruknya dan kata-kata Ringin barusan seolah-olah bersatu, menjadi sebuah nubuat yang pasti terjadi.
"Pak, Ringin takut," kata Ringin lagi, kemudian mencengkram pergelangan tangan Aswin. "Ayo pergi dari sini."
Seketika itu suara bersiul melengking di kejauhan, lalu saling bersahutan. Jantung Aswin meloncat dari dari rongga dadanya. Ia meraih Ringin dan segera berlari keluar rumah. Semoga masih ada waktu, batinnya, sambil menyesali kenapa ia tidak meninggalkan dusun ini malam tadi.
***
Ringin terjaga beberapa waktu yang lalu. Untuk beberapa saat, kesadarannya masih setengah mengambang, bingung antara dunia nyata ataukah alam mimpi. Ia terbangun setelah bermimpi bertemu seekor monyet besar di sebuah hutan. Monyet itu berkata padanya bahwa akan ada sebuah pasukan yang datang menyerang, dan jika Ringin tidak ingin mati, ia harus segera meninggalkan dusun ini.
Pandangan Ringin beredar ke seluruh ruang, dan akhirnya jatuh pada sosok ayahnya yang sedang tertidur dalam posisi duduk di sampingnya. Ia segera membangunkan ayahnya yang terlihat kelelahan, tega tak tega.
"Bapak," kata Ringin.
"Kau sudah bangun dari tadi?"
"Ringin mimpi ... katanya akan ada yang datang." Ringin hendak menyebutkan bagian 'jika ia tidak ingin mati', tapi lidahnya kelu karena rasa takut.
Setelah berkata seperti itu, Aswin seperti beku, terdiam seperti patung. Ringin yang merasa semakin takut langsung meraih tangan ayahnya itu, dan mengeluarkan sisa pikirannya. "Bapak, Ringin takut. Ayo pergi dari sini."
Tepat setelah berkata seperti itu, lengking siulan terdengar saling menyahut dari luar. Ringin tidak tahu apa yang terjadi, tapi melihat reaksi ayahnya, ia bisa menyimpulkan sendiri bahwa sesuatu yang sangat buruk sedang terjadi di luar sana.
Tubuh Ringin segera terangkat dari tikar dan kini berada dalam rengkuhan ayahnya. Mereka berlari ke luar rumah, ke arah utara secepat yang dibisa. Dari balik bahu Aswin, Ringin melihat langit saat itu masih setengah gelap.
Tiba-tiba langkah ayahnya berbelok ke kiri, seperti menghindari sesuatu jauh di depan sana. Saat jarak mereka dari persimpangan cukup jauh, Ringin menyadari orang-orang mulai berhamburan keluar dari rumah mereka.
Ringin melihat asap membumbung di kejauhan, kemudian orang-orang berlari ke arah yang sama dengannya seperti sebuah gelombang pasang. Sementara itu, beberapa prajurit dan pendekar bergerak ke arah yang berlawanan. Senjata mereka terhunus.