Aksarastra

Listian Nova
Chapter #19

Bab 18: Manusia Api

Aswin melepas atasannya dan melingkupi wajahnya dengan kain coklat gelap itu. Ia melakukannya untuk menutupi jati dirinya dari berbagai macam pihak, terutama pasukan telik sandi Kerajaan Daha yang disebut dengan Chaya. Tujuh tahun yang lalu, wajahnya memang sudah diubah nenjadi berbeda sama sekali, namun sedikit saja ada celah yang bisa dikorek Chaya, seluruh upayanya untuk mengubur masa lalu akan sia-sia belaka.

Dengan demikian, artinya Aswin juga tidak bisa sembarangan menggunakan jurus-jurus andalannya di masa lalu. Lagipula, tubuhnya yang kehilangan banyak serat otot setelah bertahun-tahun tanpa latihan juga tidak akan bisa menggunakan jurus-jurus itu dengan sempurna.

"Lalu bagaimana aku akan menolong penduduk dusun?" Pertanyaan itu terus melintas dalam benak Aswin. Ia melihat ke arah dadanya yang telanjang. Amat kurus. Bahkan tulang rusuknya terlihat menonjol.

Aswin menarik napas. Ia tak perlu mengalahkan pasukan musuh. Ia hanya perlu menarik perhatian Wanara-wanara itu padanya. Ya, ia hanya perlu menjadi umpan, setidaknya sampai petugas penyelamat berhasil mengungsikan seluruh warga.

Namun, bagaimana caranya mengalihkan perhatian ratusan Wanara di tempat seluas ini?

Aswin berpikir keras di persembunyiannya di atas atap sebuah gubuk. Ia sudah sangat dekat dengan sumber teriakan minta tolong yang ia dengar beberapa saat lalu. Tempat itu adalah sebuah tanah lapang dengan rumah-rumah yang berderet seperti bentuk tanduk kerbau. Rumah-rumah itu dibangun sedemikian rupa demi keindahan, namun sekarang menjadi pagar yang menghalangi orang-orang itu untuk kabur.

Di depan deret perumahan itu, belasan warga bergerombol, saling memeluk dan berteriak minta tolong. Sepasang pendekar membatasi mereka dari Wanara yang terus berdatangan selayaknya gelombang ombak di lautan.

Aswin mengintip dengan sangat hati-hati. Sepasang pendekar itu, tak peduli betapa baiknya jurus gabungan mereka, tak akan bisa menghalau serangan para Wanara itu. Terlebih para Wanara tersebut mengenakan zirah yang mampu menahan serangan senjata maupun pukulan bertenaga dalam.

Hanya dengan sekali pandang, Aswin tahu bahwa zirah itu bermutu tinggi. Tidak hanya zirah, beberapa Wanara juga membawa senjata yang tak kalah bagusnya. Pengalaman Aswin bertahun-tahun sebagai perwira tinggi dapat menjamin hal itu.

"Ada yang tidak beres!" Aswin mendecak. Berkumpulnya Wanara yang berbeda suku saja sudah aneh. Sekarang, mereka semua saling bekerjasama dan bahkan menggunakan peralatan tempur yang tak kalah hebatnya dengan pasukan khusus Kotaraja.

Aswin menggelengkan kepalanya, mengusir semua pikiran-pikiran yang tak perlu. Apapun yang ada di balik penyerangan ini bukan urusannya lagi. Kepentingannya sekarang hanyalah menyelamatkan manusia-manusia tidak berdosa di dusun ini.

Curah pikiran Aswin akhirnya membuahkan sebuah gagasan. Ia segera melubangi atap gubuk dan menjebloskan dirinya ke ruang dapur, tepatnya ke depan tungku. Ia mengeruk segenggam bara api dari dasar tungku, lalu menyulut api di bagian-bagian paling kering di gubuk itu. Dalam waktu singkat, gubuk itu terbakar. Apinya segera berkobar dengan asap asap kelabu yang membumbung ke langit.

Terbakarnya gubuk itu mengalihkan perhatian Wanara-wanara yang mulai mengerubungi sepasang pendekar tadi. Dan celah singkat itu memberikan kesempatan bagi sepasang pendekar itu untuk membalikkan keadaan.

Kedua pendekar itu bergerak zig-zag. Pedang di tangan mereka berputar seperti baling-baling, menyasar leher para Wanara lengah yang tersingkap karena teralihkan dengan kobaran api yang tiba-tiba muncul.

Empat Wanara tumbang bersimbah darah. Tiga di antaranya tewas dengan leher nyaris terpotong, sementara satu lagi berguling-guling memegangi wajah yang tersayat cukup dalam. Kejadian itu membuat Wanara lain kembali memusatkan perhatian mereka pada sepasang pendekar. Raung kemarahan mereka meledak.

Lihat selengkapnya