Aswin, sang manusia api, bergerak dari satu bangunan ke bangunan lain. Kobaran api merembet dan meluas, menciptakan lautan api yang menelan apa saja.
Meskipun terlihat acak, pergerakan Aswin sebenarnya memiliki sebuah pola dengan ketentuan-ketentuan yang sangat khusus. Pertama, ia bergerak menjauhi titik penyelamatan di utara. Kedua, sekaligus ketentuan yang terpenting, ia selalu bergerak melawan arah angin.
Ke mana angin berhembus, ke sana pula arah kobaran api. Dengan sekedar bergerak melawan arah angin, Aswin sesungguhnya sedang melakukan serangan dengan hawa panas dan lidah api.
Aswin, atau dulunya Sumali, tumbuh besar di wilayah selatan Kerajaan Daha. Ia sudah karib dengan bentang alam di sini, termasuk bagaimana angin bekerja. Terlebih, kehidupannya sebagai petani selama 5 tahunan ini membuatnya lebih dekat dengan musim dan cuaca. Ia bahkan bisa megetahui kapan akan hujan lewat kulit dan penghidunya.
Namun siasat Aswin tentu saja tidak sempurna. Para Wanara yang mengejarnya dapat dengan cepat menyesuaikan diri. Ada yang melucuti zirah berat mereka; ada membasahi tubuh mereka; dan beberapa kelompok bahkan melakukan penyesuaian terhadap jalur pengejaran mereka. Berdasarkan perhitungan Aswin, dirinya akan segera terkepung dan pergerakannya akan mati sama sekali.
Ditambah lagi, tubuh Aswin sudah mencapai batasnya ... pun waktu untuk mengatur napasnya, semakin tipis saja dari satu pergerakan ke pergerakan lain.
Aswin menghentikan langkahnya di pucuk sebuah menara pengawas. Api di tubuhnya sudah padam, menyisakan asap kelabu tipis. Pakaiannya sudah menjadi abu, melekat pada kulitnya yang legam oleh jelaga. Tubunya sekarang hanya dihiasi selembar cawat yang ajaibnya masih tetap utuh.
Mata Aswin, satu-satunya bagian tubuh yang masih punya warna putih, bergerak ke segala arah. Pandangannya menyapu pada semesta di bawah kakinya: dusun yang porak poranda, lautan api, dan warna-warni rambut para Wanara yang sedang bergerak ke arahnya.
Aswin melihat rumahnya di kejauhan, hampir di ujung perbatasan sebelah utara. Rumahnya hanya sebuah bangunan sederhana yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil, dengan halaman yang luas seperti rumah-rumah penduduk dusun dan desa pada umumnya. Terlalu bagus untuk rumah penduduk di wilayah perbatasan, bukan?
Namun, memang begitulah Kerajaan Daha. Terlepas dari semua perdebatan tentang baik-buruknya, Kerajaan Daha terbukti berhasil membuat rakyatnya sejahtera. Bahkan wilayah terpelosok seperti dusun ini tak kalah baik dan indahnya dengan wilayah lain yang lebih dekat dengan pusat.
Dan semua itu, sayangnya, akan segera rusak di tangan-tangan para Wanara ...
Lamunan sekejap mata berakhir. Aswin terbatuk, tapi napasnya sudah sedikit lebih baik. Barusan adalah kesempatan terakhirnya untuk mengatur napas dan mengumpulkan tenaga dalam.
Ya, Aswin bersiap untuk melanjutkan misi penyelamatannya tanpa sedikitpun rasa berkecil hati. Di dunia seperti ini, peperangan, kehancuran, dan kematian bukanlah hal asing. Betapapun pahitnya, manusia harus melalui itu semua sekuat tenaga dan bangkit kembali dari puing-puing.
Aswin menarik napas panjang dan mengerahkan tenaga dalamnya. Kulitnya perlahan menjadi liat dan alot, pertanda Jurus Paku Bumi telah digunakan kembali. Tatapannya kini terkunci pada sebuah titik di bawah sana, pada seekor Wanara besar berambut jingga yang seorang diri menghadapi dua pendekar dan kepungan prajurit penjaga dusun.
Wanara berwarna jingga itu petarung yang handal, pikir Aswin. Ia berniat untuk menumbangkan Wanara itu dan membuat Wanara lain menjadi gentar. Budaya Wanara yang dipahami Aswin tidak mengenal adanya pemimpin, tapi mereka tetaplah pemuja kekuatan.
Jika petarung terkuat mereka tumbang, pastilah Wanara menjadi segan, meskipun hanya sedikit dan sebentar saja. Namun, Aswin membutuhkan kesempatan itu, betapapun kecilnya. Ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk menjauhi medan keruntuhan ini.
Ia ingin kembali pada Ringin ...
"Tidak." Aswin menggeleng. "Aku pasti akan kembali pada Ringin."
Aswin memasang kuda-kuda baru, kemudian mencondongkan dirinya ke sebuah arah tertentu.
"Banteng Ketaton!"
Perkataan Aswin barusan hampir tidak dapat terdengar, tapi hentakan kedua kakinya pada kerangka menara menciptakan bunyi yang memekakkan telinga.