Aksarastra

Listian Nova
Chapter #21

Bab 20: Berbalik Arah

Beberapa waktu yang lalu.

Ringin terus berteriak memanggil ayahnya yang berlari berlawanan arah dengan pedati yang ditumpanginya. Tenggorokannya sampai perih seperti tertusuk duri ikan, tapi nyeri yang kemudian menjalar di dadanya terasa lebih sakit lagi. Tidak ada darah, tidak ada luka, tapi Ringin mengerang kesakitan sambil memegangi dada.

Ia merasa ditinggalkan. Dicampakkan.

Untuk apa ayahnya berbalik lagi? Apa ayahnya akan melawan Wanara itu? Dan yang paling membuat Ringin bingung sekaligus kecewa, sang ayah meninggalkannya begitu saja.

Ringin sebenarnya sudah tahu alasan ayahnya berbalik arah: membantu orang lain. Selalu begitu. Dan nyeri di dada Ringin semakin menjadi karena dijejali amarah dan sepercik cemburu. "Apakah aku tidak lebih penting?"

Pedati yang membawa Ringin dan keempat pengungsi lainnya terus bergerak ke utara, memasuki kerimbunan hutan. Ringin berhenti berteriak, dan inderanya kembali awas. Telinganya menangkap isak tangis keempat pengungsi lainnya, empat bocah seumuran dirinya. Matanya kemudian terpaku pada gerbang dusun yang semakin mengecil lalu hilang terhalang baris-baris pepohonan yang menjulang.

Kemelut memenuhi benak Ringin. Ia tidak ingin kehilangan ayahnya, satu-satunya keluarga dan bahkan satu-satunya orang yang memahaminya di dunia ini.

Ringin berbalik, merangkak ke bagian terdepan pedati. Tangannya mendarat ke pundak kusir. Ia berteriak dalam jarak sejengkal saja dari telinga sang kusir. "Pakdhe! Turunkan aku!"

"Hah? Gila kamu!" hardik sang kusir. Jengkel dan marah bercampur dalam teriakannya.

Ringin menyadari dirinya memang payah dalam percakapan. Ia tahu tidak akan bisa membujuk kusir itu dan menggunakan caranya yang biasa. Ia mencubit cuping telinga kusir lalu memutarnya sekuat tenaga.

Kusir berteriak lagi, memaki sambil meringis kesakitan. Tangannya menarik tali kekang di luar kesadarannya. Kuda tersentak dan berbelok tajam, mengayunkan pedati sampai hampir terguling. Pedati itu berhenti.

"Bocah biadab!" pekik sang kusir, tetapi bocah yang hendak ditelannya bulat-bulat itu sudah melompat dari pedati. "Hei, kembali!"

Tapi Ringin terus berlari tanpa acuh dengan wajah lurus ke depan.

"Ah, persetan!"

Kusir melecut cambuknya ke pantat kuda. Pedati kembali melaju ke utara.

Sementara itu, Ringin terus berlari. Kakinya yang jangkung menapak ringan di bebatuan datar yang menyusun jalan. Cacat pada paru-parunya membuat napas Ringin lekas tersengal, tapi ia tidak peduli. Berkat kegigihan itu, kini gerbang dusun sudah di depan mata.

Di muka gerbang dusun, manusia-manusia berhamburan keluar. Sesekali pedati-pedati yang memuat anak-anak melaju memotong kerumunan. Anak-anak itu menangis, sedangkan para ibu melolong di belakang di kejauhan. Namun tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Dalam kemungkinan terburuk, merelakan anak-anak itu menjadi yatim piatu lebih baik daripada menjadi seonggok mayat.

Ringin menerobos melawan arus pengungsi itu. Pandangannya terus bergerak, menyapu ke segala arah untuk menemukan sosok ayahnya. Di kedalaman dusun, asap hitam mulai membumbung dan menarik perhatian Ringin sejenak. Ia terpaku. Di arah yang sama, pucuk-pucuk lidah api mulai terlihat menjilati udara.

Raungan buas terdengar. Sekawanan Wanara terlihat di ujung jalan, berlari dengan keempat tungkai mereka yang semuanya serupa lengan. Ringin mengalihkan pandangan, degup jantungnya semakin kencang. Lalu denting-denting senjata menyusul, diikuti raungan pilu.

Sekelompok pasukan bersenjata menghalau sekawanan Wanara itu, tapi semuanya segera mati mengenaskan. Ringin menyesal karena kembali menoleh dan akhirnya menyaksikan kengerian itu. Isi perutnya seperti diaduk, tapi benaknya yang masih cukup jernih mengirim sinyal ke kakinya untuk segera beranjak dari situ sebelum Wanara-wanara itu sampai.

Ringin menyelinap dalam semak-semak yang merimbun hampir di setiap pekarangan rumah warga. Saat keadaan memungkinkan, ia bergerak dari semak ke tembok-tembok rumah, ke kolong, lalu ke parit, hingga akhirnya sampai ke rumahnya. Ia mengumpulkan beberapa peralatan yang dapat digunakannya untuk melindungi diri: sepucuk sabit, ketapel, sekantung kerikil, dan sebuah tabung bambu dari balik tembok kamarnya.

Lihat selengkapnya