Aksarastra

Listian Nova
Chapter #22

Bab 21: Larangan Membunuh

Aswin mengatup kelopak matanya rapat-rapat. Suara hatinya mengulang-ulang kalimat yang sama kepada para dewata yang bersemayam di Mayapadha sana. Meskipun sikapnya sudah rela, ia masih enggan menyerahkan Ringin pada maut dalam cara seperti ini.

Diam-diam, dalam kepasrahan, Aswin menghimpun tenaga dalamnya yang nyaris kering. Ketika pucuk tombak itu datang, sebisa dan sekuatnya, ia akan menjadikan punggungnya sebagai perisai untuk Ringin.

Namun tombak itu tak kunjung datang. Entah bagaimana, riuh rendah pekikan para Wanara menghilang, tergantikan ketenangan yang khidmat. Aswin dapat mendengar gemerisik pasir terangkat dari tanah oleh semilir angin. Ia menghidu aroma dupa yang tipis dari semilir itu.

"Tenyom!" seru Ringin dalam pelukannya.

Aswin menyingkap kelopak matanya. Tatapannya jatuh pada wajah Ringin yang gemap. Mata anak itu terpaku pada sesuatu di balik pundaknya. Aswin berbalik.

Seekor monyet berjongkok. Ekornya menari-nari di udara. Seringai konyol terlukis di wajah si monyet tapi Aswin dapat menangkap pendar kesedihan dari mata hewan itu.

Di belakang si monyet, Wanara berambut jingga berlutut takzim. Kawanannya yang lain berlaku sama, bahkan menunduk lebih rendah. Seumur hidupnya, Aswin tidak pernah mendengar sesuatu semacam ini.

Si monyet berbalik menghadap Wanara jingga, bercericit seperti tikus. Wanara jingga melenguh, seperti sapi marah, tapi tak sekalipun wajahnya terangkat. Si monyet menjerit, lalu Wanara jingga itu menundukkan wajah lebih dalam.

Wanara jingga itu bersimpuh. Dahinya menyentuh tanah. Wanara-wanara di belakang bahkan membenamkan seluruh wajah mereka.

"Tenyom," seru Ringin lagi. Anak itu melepaskan diri dari rengkuhan Aswin dan meraih si monyet. Kini mereka berpelukan

Tenyom. Itu nama yang diberikan oleh Ringin pada monyet yang diselamatkan anak itu sekian hari lalu. Dan kini monyet itu, entah keajaiban apa yang dimiliki hewan itu, ganti menyelamatkan mereka dari petaka.

Aswin tak dapat mempercayai kejadian yang dialaminya. Seperti kisah-kisah dalam legenda. Karma baik kembali pada keluarga kecilnya dengan cara paling tidak terduga.

Tenyom mengecup kening Ringin dengan lembut, penuh kasih seperti seorang kakek pada cucu tersayang. Monyet itu kemudian berjalan ke arah selatan dengan keempat tungkainya. Ringin merintih sedih, sangat lirih tapi sangat kentara.

Masih sambil bersujud, Wanara-wanara itu beringsut ke tepi, membelah kerumunan mereka demi memberi jalan pada si monyet. Sejauh pengalaman hidup Aswin, hanya seorang raja dan Begawan Utama yang diperlakukan demikian. Siapakah monyet ini sebenarnya?

Dengan kepergian Tenyom, keheningan segera berakhir. Bisik-bisik terdengar dari kerumunan, lalu segera menjadi riuh pekik. Wanara jingga bangkit dan meraung.

Bumi bergetar karena raungan itu. Aswin dan Ringin yang berada beberapa langkah saja darinya menutup telinga untuk mencegah gendang mereka pecah.

Ketenangan kembali, tapi segera digantikan gemuruh dari belantara di sebelah utara. Pohon-pohon bergoyang, kerikil di bumi bergeser. Rupanya, sepasukan besar Wanara yang dikatakan Wanara jingga sebelum ini sedang berbondong-bondong kembali ke dusun.

"Kalian beruntung," kata Wanara jingga itu, "sesuai permintaan sang Vanarishi yang mulia, tidak akan ada pembantaian lagi hari ini."

"Siapa?" Aswin memberanikan diri untuk bertanya. Ia mendengar gelar 'Rishi' yang maknanya mirip dengan Begawan. Monyet itu rupanya memang bukan monyet biasa.

"Kau tidak perlu tahu lebih banyak," balas Wanara jingga sambil menyoren tombak ke punggungnya dan mendekati Aswin. "Cukup kau sadari bahwa derma yang pernah kau lakukan telah kembali kepadamu ... tapi hanya hari ini. Hanya kali ini."

Wanara jingga itu kemudian menggenggam kedua lengan Aswin. Kedua kepalan sang Wanara merapat. Bunyi remuk terdengar. Aswin memekik kesakitan tanpa perlawanan.

"Bapak!" Ringin memekik. Seakan kehilangan seluruh rasa takutnya, ia menerkam punggung Wanara jingga yang berada pada dua kali tingginya. Namun Ringin tak lebih seperti seekor lalat berisik bagi sang Wanara. Anak kurus itu terjerembab ke tanah hanya dengan satu kibasan tangan ringan.

Lihat selengkapnya