Pisau itu terbang melengkung melewati tubuh Ringin, menyasar Aswin yang terduduk di belakang. Akan tetapi, lelaki itu sama sekali tak berusaha menghindar karena ia tahu pisau itu akan meleset. Dari balik bahu Ringin yang gemetar, Aswin melihat bagaimana pendekar perempuan serba putih itu melonggarkan kuda-kuda lemparannya sekejap sebelum pisau itu terlontar.
Pisau itu terus melaju, melewatkan jantung Aswin sejauh dua jengkal dan menancap di tanah. Perempuan itu segera berbalik tanpa sepatah kata, menyusul pemimpin Wanara bernama Jingga yang sudah beranjak beberapa langkah. Aswin dapat mendengar percakapan mereka yang samar-samar.
"Kenapa kau tak membunuhnya?" tanya Jingga.
"Mereka lebih berguna sebagai sandera," balas perempuan itu.
"Niatku memang begitu," tukas Jingga.
Bunyi percakapan mereka semakin mengecil dan menjauh. Sisa percakapan mereka tenggelam dalam rengekan Ringin yang langsung memeluk Aswin
"Bapak!" Ringin sesenggukan memeluk Aswin.
Tubuh Aswin yang remuk redam dijalari ngilu dan sakit, tapi ia tetap berusaha terlihat tenang. "Tidak apa, Ringin," kata Aswin, ingin sekali membalas pelukan Ringin, "Kau harus kuat. Kita belum aman."
Tangis Ringin tidak berhenti. Aswin kembali melemparkan pandangannya pada sepasang Wanara dan perempuan berbusana putih tadi. Sosok mereka sudah menghilang.
Aswin akhirnya membenarkan kecurigaannya bahwa Wanara tidak bergerak sendirian. Ada pihak lain yang berkomplot dengan para manusia kera itu, dan ia yakin tokoh kuncinya adalah pendekar perempuan itu.
Kecurigaan Aswin meruncing. Busana serba putih itu adalah busana khas Kerajaan Kenaka, tempat asal Pendekar Hantu dan pusat kegiatan 10 Tabib Abadi. Perlengkapan tempur yang digunakan para Wanara ini juga mengarah pada Kerajaan Kenaka. Ratusan empu pembuat senjata terbaik di dunia ini berkumpul di kerajaan itu.
Benak Aswin kusut. Hatinya gundah. Apakah Pendekar Hantu dan 10 Tabib Abadi juga terlibat dalam serangan Wanara ini?
Namun Aswin tidak punya waktu untuk sekedar merenung. Dua Wanara berambut biru gelap mendekat, mendesak Aswin dan Ringin untuk segera bergerak ke suatu tempat dengan tombak-tombak mereka yang runcing.
"Ringin. Bantu Bapak berjalan."
Ringin memapah Aswin di punggungnya yang mungil, kemudian bergerak setengah menyeret. Kedua Wanara tadi saling menatap dan segera sepakat untuk menggotong ayah dan anak itu secara langsung.