Aksarastra

Listian Nova
Chapter #24

Bab 23: Pemegang Kuasa

Kili bersimpuh di atas ambal kapuk yang empuk. Ia memberi penghormatan dalam kepada Raja Erlangga, kemudian pada Ratu Galuh.

"Kili Sanggramawijaya memenuhi panggilan, Romo, Ibu." Kili mengucapnya dengan lambat, sedikit lupa dan canggung karena jarang bertemu langsung dengan sang ayah, Raja Erlangga.

"Angkat wajahmu," kata Raja Erlangga, suaranya sarat akan kekuasaan, "dan panggil aku Paduka Raja. Kita berada dalam pertemuan resmi kerajaan."

Kili mengangkat wajahnya, tapi matanya tak berani menatap wajah sang raja. Pandangannya beralih pada Ratu Galuh, tetapi sang ratu menatapnya dengan sama dingin. Tak menemukan kehangatan yang dicarinya, tatapan Kili akhirnya tertuju pada ornamen Sawunggaling di ambal. Dalam benak Kili, lidah api pada sekujur ekor merak itu bergerak-gerak, entah hendak menghangatkan ataukah menelannya.

"Angkat wajahmu, Putri Kili," ulang Raja Erlangga lagi.

"Baik, Paduka," Kili menangkat wajahnya sekali lagi. Matanya masih menghindari tatapan sang Raja.

"Kenapa kau mangkir dari pembelajaranmu hari ini?" tanya sang raja. Tubuhnya sedikit condong ke depan, memberikan kesan menekan.

Kili tidak segera menjawab. Bibirnya bergetar. Ia tidak pernah mengira tindakannya seharian ini akan dihukumi sedemikian rupa; langsung oleh sang raja pula. Ia tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah setajam ini setelah Upacara Kedewasaan.

"Saya mencari Sakem, Paduka. Dayang pribadi saya." Kili mulai menguasai diri.

"Alasan yang mengada-ada," sanggah Raja Erlangga, "Kau tahu berapa besar kekacauan yang telah kau sebabkan hari ini, Putri Kili?"

Kili bergeming. Matanya masih berusaha menghindari tatapan Raja Erlangga yang seakan mengulitinya.

"Kau berlarian di sekeliling Keraton, menganggau keteraturan dan ketenangan istana, juga menjadi contoh tak pantas sebagai anggota keluarga kerajaan. Abdi-abdi istana mengejarmu, menambah keruwetan, dan pada akhirnya mereka dihukum oleh atasan mereka karena gagal membawamu ke dalam hadapan para guru."

Uraian Raja Erlangga barusan membuat tubuh Kili kaku. Ia tidak pernah memikirkan akibat dari perbuatannya selama ini. Jika Sakem ada bersamanya, tentulah dayang itu akan menegur sebelum ia berbuat kesalahan. Dulu Kili merasa sedikit risih dengan ceriwis Sakem, tapi sekarang ia tersadar betapa Sakem berulang kali telah menyelamatkannya dari kejadian seperti ini.

"Bicaralah, Putri Kili," cecar Raja Erlangga. 

Pandangan Kili beralih dengan enggan ke wajah Ratu Galuh, memohon pertolongan. Kebekuan di wajah sang ratu mencair, rasa iba memancar dari manik mata Ratu Galuh.

Ratu Galuh mengangguk, nyaris tidak kentara. Namun anggukan itu cukup untuk membuat Kili lebih menjadi lebih berani.

"Saya bersalah, Paduka. Saya tidak bersikap selayaknya anggota keluarga kerajaan. Mohon ampuni saya."

Raja Erlangga menggeleng. "Kekacauan telah terjadi, Putri. Pengampunanku tidak akan memperbaikinya."

Kili terkesiap, tapi ia masih bisa segera berkata-kata. "Saya siap dihukum, Paduka."

"Kau akan dihukum, Putri. Itu pasti," Raja Erlangga bersandar kembali. Nadanya sedikit menyindir, "Tapi bisakah hukuman ini menyadarkan kau betapa konyolnya tindakanmu seharian ini hanya karena kehilangan seorang dayang?"

Setitik amarah terpercik di hati Kili. Sakem bukan hanya sekedar dayang. Sakem adalah sahabatnya, bahkan sudah seperti saudarinya. Tahu apa Raja Erlangga, seorang ayah yang tak perhatian pada putrinya tentang ikatan semacam ini? 

Semakin mengingat ketidakacuhan sang ayah pada dirinya, semakin membaralah percik amarah di hati Kili. Namun, alih-alih meledak, amarah itu justru menciptakan ketenangan luar biasa di hati Kili, seperti api unggun di malam yang gelap dan dingin. Sosok Raja Erlangga yang memancarkan kekuasaan seperti sinar matahari tiba-tiba tidak begitu menakutkan lagi. Kili tersadar, seperti manusia biasa, Raja Erlangga juga punya banyak kekurangan.

Kili memeluk pencerahan singkatnya itu. Tatapannya kini menancap ke mata sang raja yang sarat akan kepongahan. "Saya sudah menyadari kekonyolan saya, Paduka." Kili berucap tenang, "tapi saya menyadari hal lain yang lebih konyol lagi yang mungkin bisa jadi pertimbangan Paduka untuk memaklumi kekonyolan saya."

Air muka Raja Erlangga berubah. "Hal yang lebih konyol lagi?"

"Ya, Paduka," lanjut Kili, suaranya terlampau tenang, seperti angin beku dari puncak Mahameru. Dingin dan menggigit. "Saya adalah seorang Putri, anggota keluarga Kerajaan Daha yang perkasa. Bukankah konyol sekali jika saya bahkan tidak bisa menentukan siapa yang akan melayani saya?"

Raja Erlangga terkekeh. Matanya menyala, merasa tertantang. Ratu Galuh tampak gusar, kaget dan cemas menyatu dalam pusaran air wajahnya.

"Jangan pongah, Putri Kili. Kau hanya seorang putri, pendidikanmu bahkan belum selesai. Punya kuasa apa kau untuk menentukan--"

Lihat selengkapnya