Kili tidak menunggu esok hari untuk menemui Mpu Karna. Malam itu juga, selepas membersihkan diri dan melahap seporsi besar makan malam, gadis itu bergegas menuju perpustakaan. Di sanalah Mpu Karna sering menghabiskan waktu, bahkan nyaris sehari semalam selama sepekan. Bahkan Kili mengira disitulah sang Mpu tinggal.
"Kau masih di sini?" tanya Kili begitu keluar dari ruang tidurnya. Tari berdiri di sisi pintu.
"Ya, Tuan Putri," balas Tari lirih.
Kili mengamati Tari dari atas ke bawah. Ia menduga Tari tidak beranjak dari sini sejak sore tadi. Padahal, Kili mengira dayang itu sudah menyerah karena tak melihat sosoknya sepanjang makan malam tadi.
Rasa iba segera menguasai Kili. "Kau sudah makan?"
Untuk pertama kali sepanjang hari itu, raut wajah Tari akhirnya berbeda. Selama sekejap, bentuk bibir Tari yang terenyum berubah datar. Lalu Tari menggeleng dan segera tersenyum kembali. "Belum, Tuan Putri."
"Makanlah sana, Tari. Aku juga tidak mau diikuti sepanjang waktu."
Tari menggeleng lagi. Senyumnya yang membuat Kili merasa diejek masih terpasang di wajahnya.
Kili menghentakkan kaki ke lantai. Sebal. Tanpa berkata-kata lagi, ia melanjutkan perjalanannya, membiarkan Tari mengekor tepat tiga langkah di belakangnya.
Kili tiba di halaman perpustakaan. Tidak seperti gedung-gedung milik pejabat penting lainnya di kompleks Keraton, perpustakaan tidak ditunggui oleh penjaga. Kehadiran seorang Mpu Karna sudah cukup untuk menakuti siapa saja yang berniat lancang, pun penyusup-penyusup malang yang memasuki gedung penuh kitab itu tanpa curiga, mereka semua akan tewas mengenaskan terbakar Mantra sang Begawan.
Namun, Kili hanyalah gadis 8 tahun yang belum mengerti apa-apa. Selain pengetahuan umum bahwa Mpu Karna setara dengan Begawan Tinggi yang patut dihormati, Kili tidak memahami yang lainnya. Dalam benaknya yang polos, Mpu Karna juga merupakan seorang guru yang mengajarinya baca-tulis hampir setiap hari. Betapapun diseganinya sang Begawan, pastilah memiliki welas asih yang besar terhadap muridnya.
Kili memasuki perpustakaan dan berhenti di depan sebuah ruangan. Ia menyisihkan cuplik di tangannya, lalu mengintip lewat celah pintu yang mengatup rapat. Ia hendak memastikan Mpu Karna ada di dalam dan tidak sedang terlelap.
Mata Kili menangkap setitik cahaya dibruang itu. Sebelum ia mengetuk pintu, suara dari dalam ruangan mengagetkannya.
"Siapa di sana?"
"Ini Kili, Mpu," balas Kili, "Saya hendak bertamu, jika Mpu Karna berkenan."
"Masuklah."
"Permisi." Kili mendorong pintu dan melangkah masuk. Cahaya dari cuplik di tangannya menyapu gelap, menyibak sedikit penampakan dalam ruang itu.
Rak-rak kayu mahoni berjejer rapi, memenuhi nyaris seperempat luasan ruangan itu. Aneka kitab disusun dalam rak sesuai bentuk dan isinya. Kebanyakan kitab berbentuk gulungan lontar, sebagian lagi berlembar-lembar kulit hewan dan lempeng-lempeng besi yang diikat rapi, serta yang paling istimewa, buku-buku dari lembaran kertas yang terjilid dengan rapi. Lebih berharga dari perhiasan apapun, kitab-kitab itu mengandung pengetahuan segala rupa.
Di tengah-tengah ruang, Mpu Karna duduk bersila di atas tikar rotan. Tangan sang Mpu memegang gulungan lontar. Meja duduk persegi berada di depan sang Mpu, menopang sebelah sikunya. Tiga pelita bertengger di sebuah tatakan besi, berdiri di samping meja. Sebatang dupa tertancap dalam mangkok tanah liat yang diletakkan di depan meja, terbakar hampir setengahnya dengan asap yang tampak jelas saat membumbung di sekitar pelita.
Kili mengambil posisi di depan dupa, bersiap duduk. Asap dupa meliuk menerpa wajahnya, menggelitik penghidu dan membuat matanya sedikit berair.
"Jadi," kata Karna tanpa menunggu Kili mendapatkan posisi duduk yang nayaman, "apa yang membuat Tuan Putri kemari di waktu malam seperti ini setelah seharian mangkir dari pelajaran saya?"
Kili menunduk, menahan malu dan perasaan bersalah. "Maafkan saya, Mpu. Seharian ini saya mencari keberadaan dayang saya."
Mpu Karna melirik dengan tatapan heran ke belakang Kili, ke arah Tari yang berdiri tiga langkah di belakang. Kili mengikuti tatapan itu, lalu segera menjelaskan, "Bukan dayang yang ini Mpu, tapi dayang saya yang bernama Sakem. Kata Romo ... uh, maksud saya kata Paduka Raja, Mpu Karna yang mengganti Sakem dengan Tari ini."
Dahi Karna mengernyit. Sekarang tatapannya terarah pada Kili. "Ya, aku yang menggantinya, Tuan Putri."
Mata Kili berbinar. Akhirnya. "Kenapa diganti, Mpu? Dan ditempatkan di manakah Sakem sekarang?"
"Sebelum itu, Tuan Putri," balas Karna, "saya ingin tahu dulu, ada apa memangnya dengan Tari? Apakah dia tidak melayanimu sebaik Sakem?"
Kili menggeleng. "Tidak ada masalah dengan Tari. Tapi saya hanya ingin dengan Sakem."