Pintu ruang baca terbuka. Sosok Mpu Karna menyambut, berdiri dengan air muka yang tidak kentara karena tertutup bayang-bayang. Di belakang sang Mpu, keremangan ruang merembes keluar, bersatu dengan sinar dari pelita kecil di tangan Mahapatih Narendra.
"Silahkan, Paduka Raja, Mahapatih," kata Mpu Karna mempersilakan.
Tangan Narendra memotong, menghentikan langkah Raja Erlangga.
"Harap tunggu, Paduka," kata Narendra, lalu menghadap Mpu Karna. "Maaf atas kelancangan saya, Mpu. Saya mencium aroma hangus dari ruang baca."
Kepala Mpu Karna meneleng, menengok keadaan di belakangnya. "Ah, saya sempat menjatuhkan pelita saat menyalakan dupa. Api sempat menyambar, tapi berhasil dipadamkan sebelum besar."
"Baiklah kalau begitu."
Mpu Karna beringsut menepi. Raja Erlangga memasuki ruangan, Narendra melangkah di belakangnya. Semua mengambil tempat duduk masing-masing.
"Maafkan saya mengganggu istirahat Mpu." Raja Erlangga membuka percakapan.
Mpu Karna menggeleng. "Paduka adalah raja. Meskipun paduka mendatangi saya dini hari saat saya masih tidur, saya tidak akan merasa terganggu."
Raja Erlangga tersenyum. "Kalau begitu, saya tidak akan berlama-lama. Mpu Karna pasti sudah mengetahui kabar tentang serangan Wanara di selatan. Saya datang kemari memohon bantuan Mpu untuk mengerahkan para Begawan."
Mpu Karna mengangguk. "Sebelumnya, saya hendak memastikan, Paduka ... turunnya Begawan ke medan laga berarti musuh benar-benar kuat dan berbahaya."
Raja Erlangga tidak menjawab. Ia menoleh ke arah Narendra yang duduk di sisi kiri belakangnya. Sang mahapatih mengangguk, menjawab, "Benar, Mpu. Patih Marici sudah mengukur tingkat kekuatan mereka dengan berbagai cara."
"Sulit menyakini bahwa bangsa Wanara yang tertinggal bisa membuat panglima Daha gentar ... tapi saya bukan perwira di lapangan, jadi saya akan mempercayainya." Mpu Karna melanjutkan, "Tapi saya hendak memastikan lagi. Penggunaan Mantra untuk berperang punya dampak yang besar. Medan pertarungan mungkin akan hancur tanpa bisa diperbaiki."
"Kami akan memastikan penggunaan Mantra dilakukan dengan sangat hati-hati, Mpu," balas Narendra.
Mpu Karna mengelus janggut. Matanya terpejam. Benaknya sedang memikirkan sesuatu. "Baiklah," kata Mpu Karna setelah terdiam beberapa hembusan napas, "Saya akan membuat perizinannya sekarang. Nah, sekarang soal tanggapan Kuil Mahameru ..."
"Jika diperlukan, persembahan untuk Kuil Mahameru sudah siap, Mpu," kata Raja Erlangga. "Bisa dikirim ke Kuil Agung esok pagi."
Mpu Karna mengangguk. "Baiklah, Paduka. Tapi tidak perlu mengantarnya. Jika persembahan itu memang diperlukan, biarkan mereka yang mengambilnya kemari."
"Terima kasih, Mpu," kata Raja Erlangga. Wajahnya seperti belum yakin.
"Apakah ada yang membuat Paduka resah?" Mpu Karna menyadari raut wajah Raja Erlangga.
Raja Erlangga tampak berpikir panjang, lalu akhirnya menjawab, "Sebenarnya, ada hal lain yang ingin saya tanyakan lagi, Mpu."
"Saya siap melayani, Paduka."
"Tentang Kili, Mpu. Bolehkah saya menanyakan alasan dayang anak itu diganti dengan yang baru?"
"Dayang itu adalah telik sandi dari pihak musuh, Paduka," jawab Mpu Karna.
"Benarkah? Lalu kenapa Patih Bahula tidak mengatakan apapun kepada saya?"
Mpu Karna tampak terkejut. "Saya tidak tahu, Paduka. Tapi saya yakin Patih Bahula punya alasan."
Raja Erlangga menyadari bahwa Mpu Karna menyembunyikan sesuatu dan baru saja kelepasan. Jika benar ada penyusup di istana, pastilah dirinya akan dikabarkan selaku raja. Dirahasiakannya berita ini pasti ada hubungannya dengan asal-usul Kili; dengan kata lain, rahasia Mpu Bharada dan murid-muridnya. Maka artinya, tak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk Kili.
"Baik, Mpu. Saya tidak akan mengejar alasannya," kata Raja Erlangga, "Tapi bagi anak itu, hilangnya sang dayang bukan hal sepele."
Mpu Karna melirik ke sebuah titik di lantai. Ada noda hangus berbentuk lingkaran di sana. "Tampaknya begitu," kata Mpu Karna, "Hari ini dia mangkir dari pelajarannya."