Aksarastra

Listian Nova
Chapter #27

Bab 26: Vanarishi

Aswin dan Ringin dibawa menjauh dari kerumunan tawanan dan hingar bingar pesta santap malam para Wanara. Sebuah balairung besar terbuka, yang dulunya digunakan sebagai tempat rembug warga dusun, kini telah berubah menjadi semacam pusat komando. Pembesar-pembesar Wanara duduk melingkar di sana, dengan rambut berbagai warna dan sandangan yang berbeda-beda. Di depan mereka tesaji setumpuk daging berasap, kendi-kendi tuak, serta buah-buahan. 

Aswin dan Ringin dilemparkan ke tengah-tengah lingkaran itu. Aroma daging asap menggelitik hidung, tetapi keduanya tak tergoda lantaran tubuh Aswin dan Ringin sendiri menguarkan aroma yang lebih menyengat lagi. Aroma ketakutan.

"Selamat datang, manusia," sambut Jingga. Ia duduk di seberang balairung. Santapannya sedikit berbeda. Sama-sama daging panggang, tapi berukuran lebih kecil. Jelas bukan daging sapi ataupun kambing.

Aswin membuka berusaha membuka mulut, melawan gemetar tubuhnya. "Apa yang dikau inginkan, Panglima Wanara yang perkasa?"

Jingga tertawa. "Cara bicaramu memuakkan," katanya, lalu mengambil selembar daging dan melahapnya. Sang panglima lanjut berkata-kata dengan mulut mengunyah, "Aku ingin berterimakasih pada kalian, sepasang anak dan bapak manusia."

Meski kata-kata itu ditujukan pada Aswin dan Ringin, tetapi wajah Jingga menghadap ke arah lain, pada sosok perempuan yang duduk sendiri agak jauh di luar lingkaran Wanara itu. Aswin melirik ke arah yang sama. Dahi berkerut perempuan itu diterjemahkan Aswin sebagai rasa jengkel.

"Kau telah berjasa pada seorang Vanarishi ... pertapa sakti dari bangsa kami. Dan dia telah memberikan anugrahnya pada kalian." Jingga menggigit selembar daging lagi, merobek santapan itu dengan menariknya sampai melewati batas kelenturan.

Akhirnya Aswin menyadari bahwa yang disantap sang panglima adalah daging manusia. Seketika itu perutnya teraduk. Ia menoleh ke arah Ringin, berharap anak itu tidak menyadari pemandangan itu. 

Ringin baik-baik saja. Wajah anak itu tertunduk. Barangkali membayangkan sosok Tenyom, Vanarishi yang diselamatkannya tanpa tahu menahu.

"Akan tetapi, yang dilakukan sang Vanarishi sangat melukai kami para Wanara, bangsanya sendiri," Jingga melanjutkan, lalu diikuti sorakan singkat dari Wanara lainnya, "Maka Vanarishi akhirnya menjanjikan anugrahnya pada kami. Kau tahu anugrah apa yang diberikannya?"

Aswin menggeleng. Ringin masih tertunduk.

"Untuk kalian, warga dusun yang tersisa, sang Vanarishi melarang kami membunuh kalian. Dan untuk kami," Jingga berdiri, melangkahi tumpukan santap malamnya dan mendekati Aswin sambil melanjutkan, "Sang Vanarishi menganugrahi kami dengan kekuatan baru."

Lengan Jingga menjulang ke langit, wajahnya mendongak. Wanara-wanara lain mengikuti. Tidak ada suara kecuali sayup-sayup keramaian di tanah lapang jauh dari situ.

Aswin, seperti terhipnosis, turut mendongak ke atas. Cahaya rembulan menyirami wajahnya. Ia mendadak lupa tentang waktu dan musim, bertanya-tanya apakah memang sudah seharusnya bulan di atas sana memasuki fase purnama.

Cahaya rembulan kian benderang, dan setelah beberapa saat, berkilat sekejap mata. Lalu semuanya kembali gelap. Mega berdesakan di langit, menyembunyikan gemintang di belakangnya. Purnama barusan bukanlah bulan, tetapi sesuatu yang sakral. Seperti gambaran keajaiban Astra, Mantra para Batara, dalam kisah-kisah Ajaran Mahaneru.

Kecuali Jingga, Wanara lain di tempat itu tiba-tiba berseru dan bertingkah seperti keranjingan pada sesuatu. Mereka sedang mabuk kepayang karena kekuatan yang baru saja bangkit di dalam tubuh mereka.

Ringin dengan segera meloncat ke dalam pelukan Aswin, menyembunyikan wajah dan telinganya dari pertunjukan liar itu. Aswin sama gentar dan sama takutnya, tapi memaksakan diri untuk tetap mengamati keadaan sekitar. Wanara-wanara di sekililingnya berubah; otot menggembung, rambut menebal mengilap, taring dan cakar memancang meruncing.

Wanara-wanara itu melolong, menepuk dada seperti menabuh genderang perang. Pemandangan yang disaksikan Aswin saat itu bukanlah pertunjukan rasa terima kasih, tapi gambaran kehancuran Daha. Jika sebelumnya mereka bisa mengalahkan dengan mudah sepasukan penjaga perbatasan dan sekolompok pendekar terlatih, bagaimana jadinya setelah mendapatkan anugrah ini?

Jingga meraung. Suaranya menelan hiruk pikuk Wanara yang mabuk kuasa. Lalu setelah raungan itu berakhir, yang tersisa hanyalah sunyi.

"Aku sungguh berterimakasih padamu, Aswin dan Ringin," kata Jingga lagi. Telapak tangannya yang besar melingkup ke tengkorak Aswin. Lalu tangan itu beralih pada Ringin, menjepit dagu anak itu hingga terpaksa mendongak. Kata sang panglima pada Ringin, "Vanarishi Astradarma telah memberkatimu. Kau punya takdir besar yang akan mengubah dunia ... itu jika kau masih hidup sampai besok."

Lihat selengkapnya