Kili membuka mata.
Ia masih mengingat samar pertemuan singkatnya dengan Mpu Karna. Di ruang baca yang temaram, di perpustakaan, ia ingat sedang menuntut penjelasan tentang Sakem. Lalu tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Ia tenggelam dalam dunia serba putih, ke dalam lautan aksara. Sekuntum tetarai melayang-layang di atasnya, memilin aksara menjadi kata-kata, lalu kata menjadi kalimat. Kalimat-kalimat itu berpusar, seperti selaksa selendang yang terbawa angin beliung. Sementara itu, Kili terus tenggelam ke dasar lautan.
Tertimbun aksara. Sesak. Gelap. Dan kemudian ia terjaga.
Kili langsung mengenali pemandangan di sekelilingnya. Itu kamarnya sendiri. Pastilah Tari, dayang baru yang tak pernah diinginkannya, yang membawanya ke sini.
Kili melirik ke seberang ruangan, lalu ke arah pintu. Tidak ada sosok Tari seperti pagi tadi ... tapi juga tidak ada sosok Sakem.
Tiba-tiba Kili merasakan sesak di dadanya. Ia mengingat Sakem yang pergi begitu saja setelah bertahun-tahun yang mereka lewati bersama. Kini dirinya telah dewasa dan kehidupannya akan semakin mengekang, tapi dayang kesayangannya itu tidak lagi ada.
Kili meremas dadanya, membuat bajunya tertarik dan terkumpul dalam kepal tangannya. Telapaknya perih, dan rasa sakit itu menyadarkannya akan sesuatu: apakah ia memang sepemarah ini?
Angin berhembus lewat sela-sela ukiran di daun jendela, membelai kelambu di sekitar dipan tinggi sang putru. Seperti menggodanya untuk mendekat. Kili beranjak menghampiri jendela itu dengan langkah-langkah cepat. Tangannya mendorong daun jendela kembar terbuka, menyibak dunia di luar sana.
Sudah mendekati pagi. Sebagian besar langit masih gelap di atas sana, bertabur gemintang. Di cakrawala, rona biru mulai mengusir gelap. Garis-garis tipis sinar mentari menghiasi langit, menjadi latar bagi burung-burung yang berterbangan.
Selama beberapa saat, Kili menikmati pemandangan itu. Udara yang segar mengisi dadanya, dan lama-lama membilas amarahnya.
Suasana damai itu berhenti. Pintu kamar diketuk dari luar. "Tuan Putri, saatnya berkegiatan," kata seseorang di blik pintu. Itu Tari.
Kili mendengus. Ia berusaha menahan rasa kesalnya. Dalam benaknya ia mencari pemakluman; setidaknya kali ini Tari tidak lagi menunggunya di dalam ruangan seperti penguntit.
"Masuk," kata Kili.
Pintu terbuka. Tari tidak sendiri. Di belakangnya, dua dayang lain membawa nampan kuningan. Nampan yang satu berisi santapan pagi, satu lagi sekendi besar air bunga.
Kili duduk di kursi khusus bersolek, menghadap cermin tembaga besar. Ia mengawasi gerak-gerik Tari dari pantulan di cermin itu. Kili bersikap awas dan waspada.
Meskipun masih belia, Kili tidaklah bodoh. Ia tahu pergantian dayang pribadinya menyembunyikan suatu kepentingan. Sebab sebelum ini, segala sesuatu yang menyangkut dirinya, pasti dibicarakan dahulu bersamanya.
Apalagi, senyum Tari yang nyaris tak pernah pudar itu membuatnya terus membuat Kili sebal. Sebal dan bergidik ngeri.
"Permisi, Putri," kata Tari, menghampiri Kili dengan sebuah sisir di tangan.
Sang dayang membuka gelungan rambut Kili dengan sangat hati-hati dan mulai menyisir. Kili masih belum menatap Tari. Matanya terpaku pada bayangan di permukaan cermin. Seandainya ia bersama Sakem, Kili pasti sudah berceloteh panjang.
Tari juga tidak mengatakan apapun. Selain untuk menciptakan sepotong senyum yang tipis, bibir pucat sang dayang tidak pernah bergerak. Napasnya begitu tenang, bahkan nyaris tidak terdengar. Jemarinya yang lentik dengan telaten mengurai rambut semayang Kili, menyisirnya sampai lurus tanpa kusut. Jari-jari cekatan itu kemudian menanggalkan pakaian luaran Kili satu persatu tanpa kesulitan sedikitpun.
Dalam hatinya, Kili mengakui bahwa Tari punya keterampilan yang lebih tinggi. Jika Sakem yang melakukannya, ada saja saat-saat di mana tangan dayang itu menyenggol atau jariknya tersangkut. Namun setelah kesalahan kecil itu, biasanya Kili dan Sakem akan terkekeh bersama.
"Silahkan, Putri," kata Tari, mempersilahkan Kili merapatkan tubuh ke sandaran kursi yang condong ke belakang.
Kili duduk setengah bersandar, memasrahkan dirinya untuk diseka dengan air hangat bercampur kembang 7 rupa. Lagi-lagi, Tari melakukannya dengan sangat terampil. Namun dayang itu masih tanpa kata-kata.
Air seka itu hangat, tetapi Kili merasa kedinginan. Tubuhnya tanpa sadar menegang.
"Tuan Putri mau dipijat?" tanya Tari, menyadari kekakuan Kili.
Kili menggeleng. "Tidak."
Tubuhnya selesai diseka. Kili menegakkan tubuh dan kembali menatap bayangan di cermin. Tari, dengan senyum bekunya, menggerus pupur menur dengan telapak tangan.
"Permisi, Tuan Putri." Tari menghentikan telapak tangannya yang diselimuti pupur di sisi pipi Kili.
Kili tidak berkata-kata. Ia memejam dan mengangguk.
Tari mengulas pupur merata ke wajah Kili, lalu leher dan sampai ke bahu. Tanpa berlama-lama, sang dayang segera membubuhkan riasan lainnya.
Mula-mula, Tari melukis garis di sepasang kelopak mata Kili; segaris di kelopak atas, segaris pendek di bawah, lalu keduanya berpadu membentuk pucuk belati di sudut mata. Di ujung paduan garis itu, Tari membuat motif melati 5 kelopak dengan abu kayu gaharu yang aromanya sedap samar-samar. Berikutnya, Tari memoles pasta cendana bercampur manambul di bibir Kili, membuat bibir itu merah gelap kecoklatan. Terakhir, Tari membubuhkan tilak, tanda dahi, berbentuk tetesan air dengan pasta cendana; kemudian menempelkan sebiji kecil batu kuarsa di kepala tilak itu.
Menyadari gerak-gerik Tari di wajahnya berhenti cukup lma, Kili membuka mata. Ia tak sadar ternganga, terpana oleh bayangannya sendiri. Seperti seorang dewi, batinnya, padahal saat itu rambutnya masih tergerai.