Nyala yang Dibekukan
Nyala api terakhir itu akhirnya diam tetapi tidak pernah padam. Dia hanya membeku.
Di jantung Kuil Api Purba nyala api yang pernah memaksa Bumi Biru berubah dengan membelah langit itu kini berhenti bergerak dan menjadi bara. Dinding-dinding hitam di kuil pun membeku dengan cepat menjadi kristal merah gelap karena menahan bara di dalamnya. Dan pilar-pilar basal yang dulu berdenyut oleh magma kini menjadi bara yang terbungkus kristal es abadi dan memendarkan cahaya merah gelap yang terperangkap di dalamnya.
Bara itu memang membeku tetapi dia tetap hidup meski tidak bernapas. Dan pada hari itu Perang Unsur di Bumi Biru berakhir.
Tidak ada sorak kemenangan dan ratapan. Tidak ada penyerahan diri melainkan hanya kelelahan semesta yang nyaris runtuh oleh pertarungan para pengendali unsur.
Yang tersisa hanyalah keheningan panjang dan dalam. Keheningan yang terasa lebih berat dari perang itu sendiri. Dan Bumi Biru pun ragu apakah dunia ini selamat atau sekadar ditunda kehancurannya.
Setelah perang berakhir, langit di Bumi Biru berhenti mengaum walau masih berasap. Laut belum sepenuhnya tenang meski airnya telah surut dari garis yang tidak pernah dikenalnya. Angin masih berkeliling membawa sisa jeritan yang belum menemukan tempat untuk berdiam. Sementara tanah menutup retaknya secara perlahan dan menyembunyikan luka yang paling dalam.
Api—unsur yang paling ditakuti—dikurung dalam mantra dan segel serta dijadikan peringatan bahwa keseimbangan pernah hampir runtuh oleh tangan para penjaganya sendiri.
Setelah itu para Tetua Unsur berkumpul di sebuah lembah di antara reruntuhan dan abu yang masih hangat. Bukan sebagai pemenang melainkan sebagai saksi dari apa yang hampir saja mereka hancurkan.
Di sana masing-masing dari mereka membaca tanda-tanda pada bumi, langit, dan pada denyut unsur yang tidak lagi sejalan. Dalam pembacaan itu lahir satu kesepakatan yang akan mengikat semesta bahwa api tidak lagi dipercaya dan keseimbangan tidak boleh bergantung pada kehendak satu unsur.
Saat itu api berdiri jauh dari air. Angin memilih diam di atas awan. Sementara tanah menjadi alas bagi semua unsur untuk menahan beban dari pertemuan yang sudah terlambat.