"Ghani keren banget deh, berani bantuin kamu kaya gitu." Ucap salah satu wanita teman sekelompokku, yang sampai detik ini tak kuingat namanya. Ia berbicara dengan antusias, diikuti gosip teman-teman kelompokku lainnya.
Aku tak berniat menggubris perkataan mereka sama sekali. Biar saja aku disebut sombong. Karna hidupku adalah untukku dan hanya aku yang tahu.
Orientasi jurusan hari pertama sudah selesai sejak beberapa jam lalu. Namun waktuku tertahan untuk diskusi tugas kelompok yang sebenarnya tidak begitu penting. Aku langsung meninggalkan kelompokku begitu sang ketua kelompok mengakhiri diskusi. Rencanaku sekarang adalah mengembalikan buku Ghani, Si Pahlawan yang tak diharapkan.
"Ghan." Aku memberanikan diri menghampirinya.
"Syif, Jadi bener gosip itu?" Aku baru menyadari kehadiran Dina di kelompok Ghani.
"Jangan gosip!"
Aku menarik Ghani untuk menjauh dari kelompoknya.
"Kamu tadi berani, makasih, tapi lain kali jangan gitu. Aku ga suka jadi pusat perhatian atau jadi bahan gosip. Nih bukumu." Kami pun bertukar buku lagi.
"Kamu udah mau kenalan sama aku?" Tanyanya.
"Kamu kan sudah tau namaku"
"Cek halaman terakhir bukumu ya." Ghani mengecilkan suaranya sambil menyunggingkan senyum. Selesai urusan kami, ia pun berjalan mundur kembali menuju kumpulan kelompoknya.
Dalam perjalanan pulang, ada yang menarik perhatianku. Keramaian orientasi jurusan lain terdengar begitu ramai di sekitarku. Mereka memakai logo yang tak asing.
"Logo sejarah?" Aku mendekati keramaian itu dan mengintip dari balik pepohonan. Setidaknya, aku ingin melihat pria itu.
Seluruh mahasiswa baru dengan setelan hitam-putih, nampaknya tengah menjalani hukuman. Sedang para senior di depannya terus meneriaki mereka. Sampai seorang gadis tiba-tiba saja terjatuh ke tanah.
Dua orang seniornya menghampiri gadis itu dengan buru-buru dan segera membopongnya. Di belakangnya, seorang lagi pria mengikuti langkah mereka.
"Itu ka Firman?" Tanyaku pada diri sendiri. Aku cukup jauh dari keberadaan mereka, tapi aku bisa melihat dengan jelas ciri-ciri pria itu. Rambutnya yang sedikit panjang dan bergelombang, tubuhnya yang tinggi tegap, kulitnya yang putih, dan juga memakai kacamata.
Aku berlari mengikuti arah jalan mereka.
"Kenapa bisa gaada p3k sama sekali?" ka Firman sedikit membentak kedua temannya. Sedang yang dibentak hanya diam dan mengangkat bahu mereka.
"Gimana ya, aku gangerti cara nanganinnya. Mungkin kamu ngerti, kan kamu--"
"Aku gangerti.." ka Firman lebih dulu memotong ucapan teman-temannya
Ketiga pria itu diam dalam waktu yang lama. Ka Firman mulai sibuk dengan ponselnya, meminta bala bantuan. Sedang salah satu temannya hendak menyodorkan minyak kayu putih ke hidung gadis itu.
Tak ada pilihan, aku memberanikan diri untuk mendekat. Selain untuk merebut perhatian ka Firman, ini juga untuk nilai kemanusiaan.
"Jangan!" Seruku
"Jangan dikasih minyak kayu putih" cegahku lebih jelas.
"Siapa kamu?" Ka Firman menatapku bingung. Sepertinya, ia masih tidak mengingatku hingga detik ini.
Aku langsung membantu gadis yang pingsan itu. Kulonggarkan ikat pinggangnya, kulepas beberapa kancing atas baju yang ia kenakan. Dan juga kubuka sepatunya.
"Eh, mau apa kamu?" Salah satu teman Ka Firman menahan tanganku dengan ketidakpercayaan.
"Aku PMR di SMA, jadi aku bisa nolong dia." Jelasku. Perlahan, pria itu melepas tanganku.