Hari-hari berikutnya, ka Firman sering menghubungiku. Sekadar membahas tawarannya mengenai perekrutan organisasinya tempo lalu. Aku memang masih menggantungkan jawaban, karena aku harus menentukan pilihan terbaik. Apakah itu terkait kelemahanku akan politik, atau ketertarikan atas cintaku pada ka Firman.
"Sebenernya kenapa rekrut aku ya ka?"
"Katanya kamu mau kegiatan kan?." Ka Firman selalu saja mengungkit perkataanku yang asal-asalan ini.
"Tapi---"
Belum aku selesai menjawab, ia sudah tertawa saja di seberang telepon.
"Bercanda.. aku merekrutmu supaya aku semangat.. Kalau ada kamu kan jadi ada pemandangan cantik di tempatku." Ka Firman terdengar lebih serius.
Sontak saja jantungku kembali berguncang hebat. Sampai sejauh ini, aku masih saja belum bisa mengendalikan diriku jika bersama ka Firman.
Tiba-tiba suara tawa melengking dari seberang telepong.
"Pasti wajahmu sudah merah menggemaskan sekarang." ka Firman terkekeh.
Aku masih diam.
"Alasanku memang itu, tapi di sisi lain, Arif ketua kami yang menyuruhku. Dia sangat menginginkanmu bergabung, karena popularitasmu yang luar biasa di kalangan pria bisa mendongkrak organisasi kita sampai lebih naik." Jalesnya kemudian.
Hatiku seperti tertusuk benda tajam, perih. Aku memang bodoh karna terlalu percaya diri. Tapi... Jika itu alasannya, maka jawabanku adalah...
"Ah.. kayanya aku ga ikut dulu kak. Pertama, aku masih harus banyak belajar politik dulu. Dan kedua, aku tidak sepopuler yang kaka kira." Aku terpaksa memberi jawaban ini. Selain karna kriteria yang ia harapkan tidak sesuai dengan realita hidupku, aku juga memang harus segera menjawab karna aku tidak terlalu senang jika dihubungi terus dengan topik perekrutan seperti ini.
"Oke gapapa. Tapi kamu bisa belajar politik dariku.."
"Boleh, nanti ya kak, kalau udah semangat..."
Setelah beberapa kalimat penutup lainnya, akhirnya panggilan kami terputus. Dan siapa sangka, beberapa hari setelah ini, tidak ada lagi notifikasi baru dari nama Firman di ponselku. Harusnya aku sadar sejak awal, ia menghubungiku karna keperluan bukan rasa ketertarikan..
Setelah hampir seminggu tidak menghubungiku, notifikasi pesan dari ka Firman akhirnya kembali muncul di ponselku.
"Hey, kok aku ga liat kamu di kampus sih hari ini? Biasanya kamu selalu keliatan."
Ka Firman mencariku? Apa aku tidak salah baca?
Baru aku akan membalas pesannya, Ghani tiba-tiba saja menelponku.
"Apa sih?" Tanyaku kesal.
"Nonton yu."
"Nanti kupikirin ya." Cepat aku menutup panggilannya dan kembali fokus untuk membalas pesan ka Firman
Belum selesai aku mengetik, ka Firman lebih dulu mengirimkan pesan lagi padaku.
"Yah cuman di read."
"Eh maaf kak, tadi ada telpon. Aku emang ga ke kampus, kenapa kak?" Kali ini aku membalasnya dengan cepat karna tidak ingin ia berpikiran negatif tentangku.
"Oh, besok ngampus ya.. kutunggu."
Hanya dengan satu kalimat seperti itu, rasanya hatiku menghangat, jantungku berdebar tak karuan, dan ada rasa bahagia menyelimuti seluruh tubuhku. Seharusnya aku tahu, ia tidak mungkin menghubunguki tanpa alasan, namun aku tetap menyukai saat-saat seperti ini.
Keesokan harinya, aku benar-benar datang ke kampus meskipun sebenarnya tidak ada jadwal kelas. Tapi suasana di sekitar gedung fakultasku hari ini tampak begitu ramai, tidak seperti hari-hari biasanya.
"Loh, bukannya kamu gaada kelas?" Dina mengejutkanku.