Masa orientasi tiba, seperti janjiku, aku menggunakan tas dan sepatu ka Firman. Tasnya terasa sangat pas dan ringan. Saat aku menggendongnya, aku merasa seperti dipeluk oleh pemilik tas tersebut. Sedang sepatu besarnya tentu saja kuberi pengganjal agar bisa pas di kakiku. Aku menyelipkan banyak kertas di bagian depan sepatu itu. Meski semakin berat, setidaknya lebih membantu ketika aku berjalan. Aku memaksakan diri karna aku memang tidak punya sepatu gunung, dan juga tidak meminjam pada siapapun lagi.
Para senior menyuruh kami berlarian kesana kemari, membuat tenda dengan waktu singkat, push up, dan segala hukuman lain yang sangat menyiksaku.
"Kenapa kamu lambat sekali?" Ferdi membentakku.
"Push up 50, sekarang!" Ia menyiksaku dengan lebih parah.
Aku mulai mengambil posisi. Aku hanya tidak ingin membuat keributan atau menjadi pusat perhatian lagi. Sampai di hitungan ke 25, seseorang menghentikanku.
"Stop kamu!" Itu suara ketua BEM.
Aku berhenti dan segera berdiri dari posisiku. Tanpa kusangka, ka Firman juga sudah berdiri di depanku, atau tepatnya di samping ketua BEM itu.
"Dia perwakilan senat yang mengawasi orientasi kita kali ini."
Plakkkk... Ka Firman menampar Ferdi dengan keras, mengundang perhatian banyak orang. Lagi-lagi aku harus menjadi pusat perhatian.
"Kau tahu kan dia ini perempuan? Kau ingin melakukan kesalahan yang sama?" Ka Firman terlihat berbeda. Raut wajahnya lebih tegas. Nada suaranya tinggi dan dingin. Keadaan ini kembali menjadikanku sebagai pusat perhatian.
"Sekarang, kau push up 100x!" Dengan satu perintah saja, Ferdi langsung mengambil posisi.
"Kamu hitung dia." Perintah Ka Firman yang tegas dan tidak seperti biasanya memaksaku untuk melakukan itu.
Sampai di hitungan ke 20, Ferdi terlihat lemas, peluh sudah memenuhi pelipisnya, dan kini tangannya pun bergetar.
"Jangan berhenti!" Ka Firman menyadari suaraku yang mulai melemah.
"21... Intrupsi kak, kumohon sudahi ini." Ucapku di sela hukumah Ferdi.
"Kenapa?" Ka Firman berbicara dingin, memberikan aura seram yang berhasil membuatku diam ketakutan.
"Jawab saya, kenapa saya harus menghentikan hukumannya?" Tanya ka Firman lagi dengan nada yang lebih tinggi.
"Dia ga salah, saya yang salah kak." Ucapku sambil tertunduk takut
Ka Firman tak berkata apapun lagi. Tapi suara langkah kakinya terdengar mendekat ke arahku.
"Dia ga salah kak." Ghani tiba-tiba berdiri di depanku, menghalangi langkah ka Firman. Semua orang berbisik dan mulai terkejut dengan apa yang ia lakukan.
"Saya tidak ada urusan denganmu." Ka Firman terlihat tidak senang atas kehadiran Ghani.
"Ghan, aku gapapa." Bisikku meyakinkannya.
"Aku tidak bisa melihat kekasihku dihukum lagi." Ghani berbicara dengan berani membuat semua orang bergosip.
Berbeda dengan itu, ka Firman hanya mengangkat alisnya sambil menyeringai.