Aku memutuskan untuk tetap tinggal sekadar berbincang dan mengenalnya lebih jauh. Meskipun sempat merasa takut, tapi aku tetap mempercayai pria ini sebagai pria yang baik. Kami menghabiskan waktu dengan makan bersama di dalam kamar kos ka Firman. Mataku tak henti tertuju pada pria itu, menelisik pergerakannya setiap detik.
"Kenapa makanmu ga semangat?" Ka Firman berbicara di sela makannya
"Lagi sariawan kak"
"Obatin dong." Ka Firman balas memperhatikan gerak gerikku dengan lekat.
"Jangan liatin aku kaya gitu, kak" aku mengalihkan pandanganku menghilangkan rasa gugup yang kini menyelimuti. Saat itu juga, kusudahi makanku meski keadaan makanan masih tersisa setengahnya.
"Boleh ikut ke toilet?"
Ka Firman mengangguk dan menyuruhku ke luar lewat jendela kamar, seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Begitu aku kembali, pemandangan mengejutkan menyambutku. Ka Firman mengambil alih makananku yang tersisa dan menyantapnya dengan lahap.
"Eh kak, itu kan bekasku?"
"Iya, sayang kalau dibuang." Ka Firman tampak acuh dan tidak merasa terganggu dengan istilah yang kupakai mengenai 'bekas makanku', ia bahkan sangat menikmati makanan itu.
"Makan satu makanan yang sama bisa memperat hubungan loh." Ucapan ka Firman kembali membuatku merona. Ia sengaja melakukan ini karna terus saja menertawai keadaanku yang kian salah tingkah.
Setelah selesai dengan makannya, ka Firman langsung membersihkan semua sampah dan mencuci piring kami. Tak kusangka, sisi lain yang kudapati darinya adalah sifatnya yang bersih dan rajin.
"Sini." Ia kini menyuruhku duduk tepat di hadapannya. Tapi aku tak mengerti maksudnya.
Aku tidak meresponnya, karna itulah ia yang bergerak bangkit dan mengambil duduk tepat di hadapanku. Sangat dekat sampai lutut kami saling beradu.
Ka Firman memegang daguku, "Buka mulutmu."
"Kenapa?"
"Aku obatin sariawanmu." Ia kembali menyuruhku membuka mulut.
"Aku baru makan, nanti nafasnya bau."
"Udah cepet buka, atau kupaksa?" Ucapan Ka Firman berhasil membuatku membuka mulut.
Ia mengoleskan obat ke area sariawanku dengan lembut dan hati-hati. Di sisi lain, sebisa mungkin kutahan napasku agar tak mengeluarkan aroma buruk. Entah kenapa, ka Firman melakukannya dengan sangat lambat, membuatku kehabisan nafas.
"Kenapa sih harus tahan nafas?" Ia tersenyum menggodaku. Sejak tadi, ia sengaja memperlambat keadaan ini.
Aku mendorong dadanya cukup kuat, diikuti tubuhku yang bergerser mundur menjauhinya. Saat itu juga aku bisa bernapas lega.
"Takut bau, lagian ngapain sih ngobatin sariawanku, jijik dong harusnya."
"Aku bahkan bisa menjilat sariawanmu." Kali ini, perkataan ka Firman membuat tubuhku membeku.
Diamku berhasil membuatnya kembali tertawa. Ia lalu berpindah posisi duduk di atas kasurnya dan menyuruhku melakukan hal yang sama. Aku menurut dengan mengambil posisi yang tentu berjauhan darinya. Ka Firman duduk di sisi kepala kasur, sedang aku di sudut seberangnya.
Biar kuberitahu... Aku tidak pernah sedekat ini dengan pria, apalagi berduaan di satu ruangan. Jadi kurasa, aku harus takut pada diriku sendiri. Aku bukan gadis kecil yang tidak punya hawa nafsu lagi bukan? Begitupun dia.
"Kenapa sih jauh-jauh? Pacarmu gaakan tau juga kamu di sini sama aku. Mau kita ngapain juga, dia gaakan tau."
Aku memaksakan tawaku sesaat. "Jangan menghina, aku bahkan gapunya pacar." Aku mengakui fakta memalukan satu itu.
"Jujur aja."
"Emangnya gakeliatan?" Tanyaku balik
"Kamu lebih keliatan seperti perempuan yang senang mempermainkan pria."
"Apaan?! Kenyataannya pacarann aja gapernah." Bantahku
"Kalau itu pastinya ga mungkin. Memangnya aku gatahu, huh?"
"Tau apa?"
"Ya yang hampir semua pria di kampus mendekatimu, bahkan teman-temanku juga sering menanyakan kamu padaku." Tutur ka Firman