Ciuman pertamaku berhasil mengganggu fisik dan batinku. Kegiatan yang terjadi selama beberapa detik saja telah membuatku sakit selama hampir sehari penuh. Panas-dingin suhu tubuh menyerang ketika malam hari. Sepanjang mimpiku, bibir itu selalu terasa menempel di milikku. Aku sudah mulai gila hanya karna itu. Ciuman tak seperti yang kubayangkan. Tak menjijikan seperti dugaan. Justru memabukkan dan menjadi candu meminta diulang.
Tapi perasaan ini hanya aku yang rasa. Ka Firman bahkan tak lagi menghubungiku setelah itu. Ini hal pertama untukku, tapi mungkin telah menjadi yang kesekian untuknya. Aku merasa malu meski jujur saja menginginkannya lagi, memori sesaat ini terus terngiang tak mau kulupakan. Namun dirinya sudah tentu menganggap ini sebagai hal biasa yang sering ia lakukan, dan tak perlu diingat.
Sampai kusadari, tidak sepenuhnya benar...
*Tring* (pesan masuk)
"Hey, maaf ya untuk ciuman itu." Setelah dua hari berlalu, ka Firman kembali menghubungiku.
"Lupakanlah kak." Jawabku
"Aku percaya kalau aku ciuman pertamamu." Balasnya lagi
Hanya melalui pesan saja, ia sudah kembali membuatku merasa sangat malu.
*Tring* (pesan masuk)
"Kau harus banyak belajar." Ia kembali mengirimku pesan.
"Kalau begitu ajari aku, guru." Aku memberanikan diri membalas seperti ini.
"Kau ini, diajari politik belum siap sampai sekarang, tapi diajari ciuman malah semangat begini. Haha"
"Disambil Hehe."
Tanpa kusangka, perbincangan online kami terus berlanjut sampai beberapa hari ke depan. Ia mulai membuka dirinya padaku. Hanya saja... setelah aku bisa terus menemuinya secara online, justru kini aku kesulitan menemuinya langsung. Jadwal ka Firman semakin padat oleh kegiatan politiknya, karna itulah ia jarang terlihat lagi di sekitar kampus. Padahal sungguh aku sangat merindukannya. Setiap hari, aku selalu mananti pertemuan spesial kami berikutnya.
"Kaka masih sibuk unjuk rasa?" Aku memberanikan diri menanyakan hal ini melalui chat kami.
"Iya. Besok puncaknya. Ribuan mahasiswa akan melakukan aksi di depan gedung DPR Jawa Barat. Kenapa?"
"Nanya aja kok."
Setiap kali membahas sedikit saja mengenai politik, ka Firman selalu menjawab dengan panjang dan lebar. Terlihat lebih semangat dan antusias. Seharusnya cinta menuntunku menyelami kehidupannya, menerima semua tentangnya meski tak sesuai hasratku.
Karna itulah, kuberanikan diri untuk datang pada hari yang dimaksud. Suasana di sekitar gedung DPR sangat ramai dipenuhi mahasiswa rupa-rupa almamater. Di sekitar gerbang gedung, polisi dengan jumlah tak kalah banyak pun sudah bersiaga melakukan penjagaan dengan perlatannya yang lengkap.
Demonstrasi tak seburuk yang kupikirkan. Hanya usaha menyampaikan pendapat dan keluhan dalam suara besar. Ada peran pemimpin demo, dan ada juga yang berusaha memanas-manasi suasana, sekadar menumbuhkan semangat lebih besar dari para pendemo.
Aku tidak mengerti pembahasan mereka, dan tidak berniat ikut campur. Fokusku di tempat ini hanyalah menemukan sosok yang sangat kurindukan. Setelah cukup lama berkeliling, akhirnya kutemui juga pria itu di antara orang-orang dengan almamater serupa. Ia terlihat sangat antusias dan penuh semangat. Sesekali, ia memimpin gerak mahasiswa kampus kami.