Aku memutuskan untuk mengambil kesempatan yang ada. Setelah hari itu, aku mulai disibukkan dengan rutinitas baruku. Orientasi anggota baru senat. Rasanya semua hal dihidupku tidak akan jauh dari kegiatan orientasi dan penindasan.
Dina sudah tahu semua hal tentang kejadian tak terduga di hidupku, termasuk tentang pencabutan beasiswaku dan aku yang tiba-tiba saja diterima di senat. Ia sempat khawatir berlebihan pada kondisiku, sedang untuk penerimaan senat, tentu saja ia mensyukuri itu tanpa sedikitpun rasa iri. Bahkan, ketika kumohon supaya ia kembali berjuang, dia malah menolakku dengan keras. Alasannya hanya karna perasaan bencinya pada ketua bidang internal yang tempo lalu mewawancaranya, Dino.
"Kalian ini kenapa sih?" Tanyaku. Kami tengah berada di dalam lift fakultas.
"Si brengsek itu ngajakin aku kencan. Emangnya aku perempuan apa?" Dina kian berbelit emosi.
"Tapi Din, aku ga yakin bisa ikut ini tanpa kamu."
"Ayo dong lawan rasa takutmu. Kita gabisa selamanya bersama. Seharusnya, kau juga sudah terlatih mandiri sejak pertama kali mengejar ka Firman." Dina berusaha menyemangatiku.
"Tapi aku ga yakin.. Puspa, pacar ka Firman itu, dia juga orang senat. Aku males kalau dibully lagi sama dia."
"Kalau gamau dibully ya lawan. Jangan mau ditindas terus, Syif. Apalagi aku gaada di sisimu nanti, gaada juga pria so jagoan kaya Ghani. Kau harus memerdekakakn dirimu sendiri." Perkataan Dina menamparku. Benar, aku sudah dewasa, aku memiliki hidupku sendiri yang harus diperjuangkan. Tapi, apa aku mampu?
"Seharusnya aku ga perlu ngejar ka Firman sampai sejauh ini. Biar saja aku mencintainya dalam diam" sesalku
"Ayo dong Syif. Kamu sudah sejauh ini juga.. Ambil semua sisi positifnya. Kau harus terus berjuang dan anggap saja Tuhan telah memilih ka Firman sebagai jodohmu."
"Tapi besok--" ucapanku terhenti begitu melihat ka Firman tengah berdiri di luar lift.
"Hai Syifa." Ia mencubiti kedua pipiku dengan keras, seperti biasanya.
"Jangan dulu pulang ya, temui aku di gazebo jam 5 sore. Ada sesuatu yang harus kubicarakan" Bisik ka Firman.
Deg.
Apa yang ka Firman lakukan berhasil membuat jantungku berdegup kencang. Meskipun sudah sering terjadi, perasaan seperti ini masih saja kurasakan.
Di sisi lain, aku bisa melihat tatapan iri dari gadis-gadis di sekitarku. Ternyata, ka Firman lebih populer dari yang kubayangkan.
"Eh syif!" Ica, salah satu teman sekelasku, menghentikan langkahku.
"Ya?"
"Kok kamu bisa deket sih sama ka Firman dari senat itu?" Tanya Ica menyelidik
"Emang kenapa?"
"Engga sih, dia inceran genk kita aja." Ica berbicara seolah memperingatiku.
Aku memilih tak menghiraukan itu dan menunggu ka Firman di gazebo tempat kesukaannya.
"Beneran nungguin aku toh?" Ka Firman langsung duduk di hadapanku.
"Kenapa kak?"
"Ada info menarik. Untuk beasiswa PMAI itu, kau bisa mengajukan diri berkontribusi jadi jurnalis organisasi. Aku tahu kau tidak menyukai perdebatan, kau tidak bisa memimpin, dan bahkan sering tidak mengerti bahasa politik kami. Tapi aku yakin, kau pandai menulis kan.." Informasi dari ka Firman terasa sangat memudahkanku. Rasanya sangat gembira sampai tanpa sadar, aku memeluk pria itu di depan umum.
"Ah maaf." Aku melepas pelukannya dengan terkejut begitu kesadaranku kembali.
Sekilas, ka Firman tersenyum dengan tingkahku. Dan seperti biasa, ia langsung mencubit pipiku yang mulai memerah.
"Tapi, tantanganmu baru dimulai. Besok kamu harus kumpulin satu tulisan mengenai isu terbaru politik di jawa barat."
Aku terkejut akan kabar selanjutnya ini. Jantungju mulai berpacu. Rasanya tidak sanggup melakukan ini. Selain aku harus mempelajari isu baru dan bahasa politik, aku juga harus menyiapkan keperluan orientasi senat besok.
"Tapi besok juga kan orientasi senat?" Tanyaku lemas
"Kau harus kerjakan dari malam ini. Kau juga bisa kerjakan saat waktu luang orientasi besok. Jangab menyerah dengan sebuah tantangan." Ka Firman mengelus rambutku membuatku seketika yakin atas kemampuanku.