Melihat respon ka Firman yang terlihat cemburu tempo lalu telah memantapkan keputusanku untuk mendekati ka Adit. Aku memulai strategi baruku.. setiap melihat ka Adit, aku langsung menghampirinya. Biasanya ka Adit tak pernah meresponku dan selalu menghindar. Tapi kali ini, aku pastikan itu tak terjadi.
"Ka Adit." Sapaku
"Kamu lagi, kenapa?"
"Aku cuman mau bilang makasih.. boleh aku traktir kaka hari ini?" Tanyaku
Ia tampaknya tidak tertarik. Kenapa begitu sulit mendekati kedua kaka beradik ini?
"Kak kumohon, kali ini aja." Ucapku
Ka Adit masih tak menjawabnya. Terpaksa aku menggunakan caraku dengan memaksanya. Aku menggenggam tangan pria itu dan menariknya berjalan.
"Jangan lewat depan." Ka Adit menahanku.
"Kenapa?"
"Aku males lewat sana." Ia tak menjelaskan apapun, tapi aku sudah paham maksudnya adalah menghindari area kekuasaan ka Firman.
"Ayolah kak, kantin kan lebih deket lewat sana.." aku memohon padanya
Ia menatapku dengan heran. Apa dia tau maksudku? Aku berlutut di hadapannya memohon supaya dia mau menurutiku. Semua mata langsung tertuju ke arahku. Sejak dulu, apapun tentangku pasti menghasilkan cibiran yang menghujatku, tapi aku sudah tidak peduli.
"Hey!!! Tidak perlu seperti ini." Tanpa kusangka, ka Adit malah ikut berlutut dan memelukku, membawaku kembali berdiri.
Gugup.. Aku langsung mendorong tubuh pria itu. "Umm... Lewat sana ya kak?"
Di luar ekspektasiku, aku bisa merasakan debaran jantung kuat saat bersama ka Adit.
Ka Adit mendahului langkahku untuk keluar gedung. Tepat di depan gazebo tempat kesukaan ka Firman, aku menginjak kakiku sendiri supaya terjatuh.
Brukk.. Untuk kedua kalinya, hanya selang beberapa menit, aku kembali menjadi pusat perhatian.
Ka Adit menolongku bangun. Sialnya, aktingku terlalu berlebihan sampai kakiku berdarah karna bergesekan dengan aspal.
"Kakimu berdarah" Ka Adit hendak membopongku, tapi aku langsung menolaknya. Aku tidak mau merasakan debaran itu lagi darinya.
"Aku masih bisa jalan kok." Tolakku
"Setidaknya biar kuobati dulu."
"Kalau gitu, kita duduk dulu di sana kak. Aku bawa obat merah." Sejujurnya, ini persiapan terbaikku. Aku tahu obat ini akan kubutuhkan dalam rencana kali ini.
"Jangan, kita masuk lagi aja ke gedung." Ia menolaknya.
Aku tidak menghiraukan ucapannya, dan mendahuluinya menuju gazebo itu. Begitu aku duduk di gazebo, satu hal kusadari. Ka Firman tidak ada di sini, dan hanya ada beberapa temannya yang tidak kukenal. Rencanaku gagal.
Ka Adit mengobati lukaku dengan baik.
"Kalau jalan hati-hati. Masa aku harus menuntunmu?" Ia mengomeliku.
"Maaf kak."
Saat itu juga seseorang memanggil nama ka Firman. Aku melihat ke arah yang dimaksud. Dan benar, pria itu datang. Ia juga menyadari keberadaanku. Ia terus melihatku, atau lebih tepatnya pria yang bersamaku.
Di lain sisi, wajah ka Adit terlihat berbeda. Rahangnya mengeras seolah menyimpan emosi.
"Syifa!" Ka Firman memanggilku. Aku pun ikut tenggelam dalam suasana canggung ini.
Aku menyahuti panggilannya dengan lirikan.
"Bajumu ketinggalan di kosanku, kapan mau diambil?"
Deg.
Kenapa ka Firman membahas ini? Memalukan. Tapi sejak kapan bajuku tertinggal di tempatnya?
"Apa di bawa kak?" Tanyaku gugup
"Ya ambilah sendiri ke kosan." Titahnya. Ia melirik ka Adit sekilas. Lalu segera berpamitan pergi pada teman-temannya.
"Ka.. kakak.. ka Firman!" Tiga kali aku memanggil dengan keras untuk menanyakan waktu luangnya, tapi ia tak sama sekali menghiraukanku. Yang kudapati justru tatapan penasaran dari teman-temannya.
"Si pimen bisa cemburu juga ya?" Bisikan teman-teman ka Firman masih bisa kudengar.
Aku mengalihkan pandanganku kembali pada ka Adit.
"Kejarlah dia, dan tidak perlu berterimakasih terus padaku." Ka Adit bangkit meninggalkanku. Sial, rencanaku malah menghancurkan citraku di depan keduanya.