Aku langsung memapah ka Firman keluar ruang kesehatan. Mencari bala bantuan untuk membawanya ke rumah sakit. Hari ini, kejadian tak terduga telah menggoncang duniaku. Air mata tak hentinya turun membasahi wajahku. Mengingat keadaan ka Firman yang sudah sangat mengenaskan tentu membuat separuh jiwaku hancur.
Aku tidak mengerti cara kerja cinta, tapi yang kurasakan, cinta memang membutakan diri. Aku tidak bisa lagi membedakan yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang harus kudukung dan harus kujauhi. Bagiku, cinta telah menjadi prioritas utama. Yang paling benar dan paling penting di hidupku.
Beberapa jam berlalu, dokter masih sibuk menangani ka Firman di ruang gawat darurat.
Semakin banyak waktu terbuang, semakin sesak dadaku. Juga semakin diri ini diliput rasa takut berlebihan. Terlintas pikiran-pikiran buruk yang sangat kuhindari, khususnya kemungkinan kehilangan pria itu.
"Keluarga Firman?" Dokter keluar dengan wajah lesu yang ditekuk. Ada firasat buruk menghantui benakku.
"Saya!" Aku dan Arif berdiri berbarengan.
"Keluarga asli?"
"Saya.. saya adik kandungnya" Ka Adit muncul di waktu yang tepat.
Kami belum memberitahu kedua orangtua ka Firman karna tentu saja ini hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Karna itu, kehadiran ka Adit sangat membantu. Dokter pun membawa ka Adit ke ruangannya. Membicarakan keadaan ka Firman, menghabiskan waktu yang panjang untuk mereka, membuatku resah dan ketakutan.
"Tenanglah Syif. Firman pasti baik-baik saja" Arif masih mencoba menenangkanku.
Aku memang tidak bisa tenang. Sedari tadi pekerjaanku adalah menangis dan mondar mandir tak karuan. Sampai Ka Adit keluar dengan wajahnya yang lesu. Berbarengan dengan itu, jantungku kian memompa sangat cepat. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku.
"Pukulanku merusak saraf penglihatannya."
Aku terjatuh ke lantai begitu mendengar kabar tersebut. Kaki dan seluruh tubuhku lemas. Arif dan Ka Adit segera menghampiriku.
"kenapa kau melakukan ini?!" Lirihku sambil memukul-mukul ka Adit lemah.
Putaran memori mengenai pertengkaran kaka beradik itu kembali muncul di pikiranku. Meski ka Adit yang menyebabkan ini semua, tetap saja aku adalah biang permasalahannya.
"Kenapa kau harus membelaku?" Tanyaku dengan tanpa hentinya menangis.
Ka Adit berlutut di hadapanku.
"Aku mencintaimu, Syifa."
Kalimat itu... Kalimat yang selalu kuharapkan keluar dari mulut ka Firman. Tapi malah keluar dari mulut adiknya yang bahkan baru saja kukenal.
"Kau berbohong!"
"Selama hidupku, aku baru pertama kali tertarik pada seorang wanita.. wanita yang sama sekali tidak melihatku."
Aku tertegun mendengar penuturannya. Rasanya mirip sekali seperti kondisiku di mata ka Firman.
"Aku ingin mengenalmu sejak awal, tapi aku terlalu takut."
Aku diam mencerna kata-katanya.
"Aku ingin dekat denganmu, tapi kamu lebih dulu dekat dengannya."
Aku masih diam sambil terus menangis.
"Yang bisa kulakukan hanya memperhatikanmu diam-diam."
Kupejamkan mataku.. setiap kalimat yang ka Adit ucapkan sangat mewakili isi hatiku.. untuk ka Firman.