Aku terus menjalankan rutinitas baruku, merawat ka Firman dalam diam. Jika ka Firman tak bisa melihat, maka aku siap menjadi seorang yang tak berbicara. Asal tak memancing perasaan benci ka Firman dengan identitasku. Untungnya, Arif tidak banyak protes tentang keputusanku satu ini, sampai....
"Men.. ada seorang wanita yang ingin menemuimu." Arif berbicara tanpa sepengetahuanku.
"Siapa?" Aku berbisik sepelan mungkin pada pria itu.
Arif tersenyum menanggapiku. Ia mengambil sebelah tanganku dan menempelkannya pada tangan ka Firman.
"Siapapun kau, pergi!" ka Firman menarik diri dan berjalan ke sembarang arah untuk menjauhi kami.
"Pimen, tenanglah.. dia orang yang sangat mencintaimu. Dia bisa menerima kekuranganmu."
Ka Firman tertawa dengan ketus, "aku tahu dia datang untuk menertawakan keadaanku."
"Aku ga mungkin ngetawain kaka." Entah keberanian dari mana, refleks aku berbicara.
"Puspa?" Ka Firman menyebutkan satu nama.. tapi kenapa harus wanita itu? Suaraku dan Puspa memang tidak terlalu jauh berbeda, sama-sama kecil dan sedikit melengking. Tapi apa ka Firman sebegitu keras hati untuk melupakanku dan menyebut aku ini sebagai orang itu?
"Men--" Arif hendak menyanggahnya, tapi aku langsung membekap mulutnya. Aku tidak mau ka Firman tahu jika ini adalah aku, Syifa.
"Hai kak." Sapaku. Wajah bingung Arif kini memelototiku. Ia terlihat tidak senang dengan kepura-puraanku yang semakin berlebihan. Tapi ini jalan satu-satunya untukku bisa tetap di sini, setelah mengetahui ungkapan benci ka Firman pada seorang Syifa waktu itu.
"Kenapa kamu di sini? Mau balas dendam?" Tanya ka Firman sinis. Pria itu memang terlalu banyak berpikiran negatif pada orang lain.
"Aku kesini untuk merawatmu, boleh kan?"
"Engga!" Ia menolakku, bahkan ketika aku menyamar menjadi orang lain
"Aku mencintaimu." Aku memeluk ka Firman dengan berani. Pria itu diam, tak meronta atau juga membalasku.
"Terserah!" Ketusnya
Senyum mengembang di wajahku. Kali ini, aku bisa merawatnya secara sempurna. Tidak perlu lagi membisu dan menjadikan Arif sebagai mulutku. Biarkan aku berpura-pura menjadi orang lain, sekalipun itu Puspa. Setidaknya ini tak menghalangiku untuk merawatnya seperti semula.
"Ehmm, aku harus bicara dengannya sebentar." Arif menarikku keluar ruangan.
"Kenapa kamu masih saja pura-pura jadi orang lain? Dan kenapa Puspa?" Arif sedikit membentakku
"Gaada pilihan. Aku gamau ka Firman merasa hutang budi setelah ia sembuh (bisa melihat lagi)."
"Lalu kau buat dia hutang budi padw si Puspa?"
Aku terdiam.. ucapannya benar, dan aku tidak sama sekali memikirkan hal ini.
"Mungkin dengan ini, setidaknya ka Firman bisa melepas dendamnya kan."
"Itu urusannya, bukan kamu!" Arif masih menolak alasanku yang semakin melebar.
"Pokonya aku gamau dia tahu identitasku."
"Kenapa? Bukannya kalian bisa bersama setelah ini?"
"Itu tidak mungkin.. harus kubilang berapa kali kalau aku akan pergi setelah ia sembuh." Aku tetap pada pendirianku.
"Aku ga ngerti sama jalan pikirmu."
"Yang jelas aku tidak ada niat lain selain bertanggung jawab dan merasa kasihan."