Aktivis Kampus

Zihfa Anzani Saras Isnenda
Chapter #27

Bab 27 - Puncak Kegelisahan

Menjelang satu tahun berlalu, keadaan ka Firman masih saja sama. Belum ada jalan kesembuhan dan belum juga ada pendonor. Terkadang, ka Firman sering menginjak titik terberat keputus asaan sampai beberapa kali berencana mengakhiri hidupnya.

Jujur saja aku hancur melihatnya seperti ini. Tapi aku paham perasaannya. Yang bisa kulakukan hanya memeluknya dan mengalihkan fokus pikirannya pada hal lain yang dapat membuatnya lebih semangat, seperti keadaan politik terbaru.

Aku tidak begitu mengerti mengapa ia begitu mencintai politik. Tapi topik seperti ini selalu berhasil kugunakan dalam segala keadaan. Membuat bersemangat, membantunya tidur, atau bahkan sekadar menumbuhkan topik pembicaraan.

"Ssstt..." Arif melongo dan mendesis dari balik pintu yang secara tidak langsung memintaku keluar.

"Aku keluar dulu ya kak." Ucapku

"Ikut aku, dokter mau bilang sesuatu." Arif langsung menarikku ke ruangan dokter.

"Begini, sebulan lagi, menginjak satu tahun Firman mengalami kebutaan. Jika melewati hari itu, saraf matanya akan membeku dan akan lebih sulit untuk dilakukan operasi. Kemungkinan berhasilnya juga akan menjadi sangat kecil." Jelas dokter.

"Apa rumah sakit sudah menemukan pendonor?" Tanya Arif mulai khawatir.

"Mencari congkak kornea itu terhitung sulit.. belum lagi untuk kecocokannya."

"Dok, biar aku donorin mataku aja." Ucapku yakin.

"Engga!" Arif dan dokter menolakku dengan kompak.

"Donor mata itu tidak bisa dilakukan sembarang. Di Indonesia, kami memiliki prosedur mengenai ini, kami hanya bisa mengambil donor dari orang yang sudah meninggal." Jelas dokter.

"Kalau gitu, aku siap mati."

"Bodoh!!" Arif menyentil dahiku keras.

"Mikir lagi dong sebelum ngomong." Kali ini, Arif tampak tidak senang dengan ucapanku.

"Jalan lainnya gimana dok?" Tanyaku mulai takut

"Masih ada waktu.. bantulah rumah sakit untuk mencari donor itu. Waktu terbaik kita tinggal sebulan lagi."

Ucapan dokter terus terngiang di telingaku. Aku tidak mau melihat ka Firman terpuruk selamanya. Ka Firman masih mengharapkan keajaiban datang, dan aku tidak bisa melihat harapannya sirna.

"Syifa." Ka Adit kembali menemuiku setelah sekian lama, tepat sebelum aku memasuki ruang inap ka Firman.

Sejak ka Firman masuk rumah sakit, aku selalu melihat ka Adit di rumah sakit, hanya saja keberaniannya tertahan dari kejauhan, ia hanya mampu menengok ka Firman dari jauh.

"Akhirnya berani mendekat juga, mau jenguk ka Firman?" Tanyaku langsung

Pria ini hanya diam memandang ke sembarang arah.

"A... Aku.." ia menggantungkan perkataannya cukup lama

"Kenapa?"

"Aku akan bantu temuin donor mata untuknya. Tapi kau harus berjanji untuk tidak berbuat hal bodoh."

"Serius?!"

Ka Adit mengangguk yakin. Wajahnya menampilkan ketulusan dan bukan hanya ucapan palsu. Karna itu aku berani memeluknya. Ka Adit membalas pelukanku dengan canggung.

"Kalau gitu ayo masuk.. ka Firman mungkin ingin bertemu."

Ka Adit menahan dirinya. Ia jelas-jelas menolak ajakanku.

"Belum waktunya."

Lihat selengkapnya