Aku memenuhi kemauan ka Adit. Anggap saja ini kompensasi karna ia telah menjadi penyelamat. Ia menjemputku di rumah sakit sejak pukul 7 pagi. Aku mempercantik diriku hari ini, juga menggunakan pakaian terbaik yang kupunya.
"Hai." Aku harus membuat semuanya terasa nyata dalam peranku.
Tapi pria itu justu diam membeku. Beberapa saat ia menatap wajahku, tapi kemudian memalingkan miliknya ke sisi kanan.
"Aku berlebihan ya kak?" Tanyaku. Memang Syifa yang bodoh.
Ka Adit memelukku, "Kamu sangat cantik." Ia mengecup kepalaku lembut.
Setelah itu, ka Adit berlutut di depanku, menyodorkan sebuket bunga mawar merah yang sangat cantik.
"Jadilah pacarku."
Deg.
Apa yang ka Adit lakukan berhasil memacu kerja jantungku. Sepertinya, ikatan darah antara dia dan ka Firman sangat kuat sampai aku juga merasakan gejolak serupa saat bersamanya.
Aku mengangguk yakin. Seperti kesepakatan, aku akan menerimanya sebagai kekasih sehariku.
Ka Adit menuntunku menuju mobil jeepnya. Atau milik ka Firman?
"Iya, ini mobil Firman. Aku meminjamnya lewat Arif. Ini mobil pemberian ibunya untuk 17 tahunku, tapi kurasa Firman lebih berhak..."
Aku mengerti. Aku tak bertanya apapun lagi. Aku tak mau pembahasan mengenai ka Firman menggangu kami untuk hari ini.
Kami menuju ke sebuah taman hiburan.
"Ternyata tempat kencan ka Adit itu kaya gini.." aku terkekeh sambil mencibirnya
Untuk pertama kalinya di hadapanku, wajah ka Adit langsung memerah menahan malu.
"Loh kok malu-malu.. aku seneng banget kok, ayo kita naik itu."
Satu demi satu wahana di taman hiburan ini kami naiki. Ada yang memompa jantungku, ada yang membuatku muak, ada juga yang menyenangkan. Di tempat ini juga, aku sadar betapa ka Adit sanga peduli padaku, selalu menjaga dan melindungiku. Kami menghabiskan banyak waktu sampai tak terasa, sudah menunjukkan pukul 3 sore.
"Aku mau mengajakmu ke sebuah tempat istimewa."
Ka Adit membawaku ke pantai yang tak jauh dari taman hiburan ini.
"Pa... Pantai?" Seluruh tubuhku bergetar. Melihat dan mendengar suara ombak rasanya membuat kepalaku pening. Aku tertunduk dan menutup mataku.
Satu hal yang tidak banyak diketahui orang adalah ketakutanku pada ombak. Aku sendiri tidak mengerti alasan dari ketakutanku ini, tapi yang jelas... aku tidak bisa berenang. Aku hanya takut ombak menyeretku ke tengah laut dan kemudian menenggelamkanku.
"Kamu kenapa?" Ka Adit memelukku dari belakang. Pelukannya terasa hangat dan menguatkanku. Tangannya melingkar di pinggangku, dan dagunya jatuh menyentuh bahuku.
"Aku takut ombak."
"Tenanglah Syifa, aku di sini, aku akan menjagamu." Ka Adit menurunkan pelukannya, mengarah kedua tangannya menutup mataku dengan lembut. Dalam posisi ini, Ka Adit membawaku melangkah sedikit demi sedikit lebih dekat ke sisi pantai.
"Coba kau rasakan udara segar yang dibawa ombak. Suara gemuruh yang seperti membawa masalahmu pergi, dan air dingin yang menerpa kakimu menyuruhmu untuk selalu kuat berdiri meski masalah menghantam bertubi-tubi"
Tanpa sadar, aku mengikuti semua perkataan ka Adit. Semua itu.. dari mulai udara, suara ombak sampai air yang menyentuh kakiku. Ternyata tidak se-menyeramkan yang kukira. Perlahan kubuka mataku. Begitu ombak datang, aku langsunh berbalik dan memeluk ka Adit dengan ketakutan.
"Syifa, tutuplah matamu. Tidak semua hal bisa kau nikmati dengan mata"
Aku menuruti ka Adit, menutup mataku dan berbalik kembali menghadap pantai.
"Pantai adalah tempat kesukaanku. Tempatku menenangkan diri, tempatku melupakan masalahku." Suara ka Adit berpindah ke sisi kiriku, ia juga menggenggam tangan kiriku dengan lembut.
Ia diam untuk beberapa saat. Aku penasaran akan apa yang sedang ia perbuat, karna itu aku memberanikan diri membuka mataku lagi. Kali ini, fokusku hanya pada ka Adit yang tengah memejamkan matanya sambil menikmati ombak dengan caraku tadi.
Pria ini... Tak kusangka ia memiliki sisi semanis dan sehangat ini. Tapi kenapa aku tidak bisa mencintainya? Kenapa aku justru terperangkap dalam cinta kakaknya yang bahkan membenciku?
"Udah puas liatin akunya?" Perlahan, ka Adit membuka mata dan melirikku.