Hari ini telah ditentukan sebagai jadwal operasi ka Firman. Terlihat jelas ketakutan menyelimuti pria itu, dan tugasku masih harus menguatkannya. Aku memeluk ka Firman dengan erat, membiarkan semua rasa takutnya berpindah padaku.
"Kaka akan sembuh." Ucapku
"Biarkan aku memelukmu lebih lama." Pintanya.
Aku mengabulkan permintaannya. Kehadiran Arif dan para suster bahkan tak lagi membuatku canggung. Kunikmati saat-saat terakhirku dengannya, pelukan terakhir yang bisa kuberikan sebelum aku harus menghilang dari hadapannya.
"Entah kenapa, aku merasa akan kehilanganmu setelah ini." Ka Firman tiba-tiba membicarakan masalah ini.
"Kaka akan sembuh." Aku menyanggahnya.
"Bukan aku, tapi kamu yang akan hilang." Jelasnya.
Aku sudah tak tahu harus mengatakan apa. Kutatap Arif yang mulai menyadari perbincangan kami. Tapi ia hanya membalas tatapanku dengan iba seolah menunjukkan ketidakmampuannya membantu. Hanya tetes demi tetes air mata berjatuhan yang bisa menjawab pertanyaan ka Firman.
"Kamu nangis?" Ka Firman menyadari kondisiku. Ia meraba wajahku yang mulai basah. Semakin ia menyentuh wajahku, semakin aku merasakan perih di hati ini.
"Tenanglah, aku janji akan kembali padamu." Ia berjanji padaku. Janji yang akan segera kulupakan.
"Sudah waktunya" dokter masuk menjemput kami, membawa ka Firman dengan sebuah kursi roda.
Aku dan Arif mengikuti dari belakang. Setidaknya, kami akan menemani jalannya operasi dari luar ruangan.
"Tunggu." Ka Firman meminta suster untuk berhenti di pertengahan jalan.
"Puspa." Ia memanggil nama itu lagi. Nama yang kupinjam untuk beberapa bulan terakhir ini.
Aku berlutut di hadapan ka Firman.
"Kenapa kak?"
"Menikahlah denganku." Pria itu mengeluarkan sebuah cincin dari saku bajunya. Cincin yang pernah kupakai untuk status palsu sebagai tunangannya.
Seketika air mata kembali membasahi wajah ini.
"Puspa?"
Aku menyeka jejak air mataku, "ah iya?"
"Biarkan aku memakaikannya."
Aku menunjukkan jari tangan kiriku di depan ka Firman. Dengan lihai, ia memasukkan cincin itu ke jari manisku, seolah ia bisa melihat semuanya.
"Tunggulah aku sayangku, aku akan kembali secepatnya." Ka Firman mengecup tanganku sekilas.
Operasi pun berlangsung cukup lamban, menghabiskan banyak waktu, menguras banyak kegelisahan.
"Kenapa ka Adit ga datang ya?" Tanyaku
"Dia tadi ngechat aku, katanya dia harus menangani kedua orangtuanya."
"Apa gapapa disaat sepenting ini ga kasih tau orangtua ka Firman?" Tanyaku lagi
"Firman udah pasti gamau, dan Adit juga bilang tidak apa-apa, ia yang bertanggungjawab."
Aku menghela nafas lega. Meski dalam lubuk hatiku terdalam masih saja diliput kecemasan. Sampai hampir 3 jam berlalu, dokter akhirnya keluar dari ruang operasi.