Aku Adalah Pusat Semesta

awod
Chapter #1

#1

Aku adalah aku. Namaku Bayu Cakra, usia 27 tahun. Pagi ini aku berdiri di hadapan cermin. Cermin ini bukanlah sekadar artefak perabot, ia adalah portal dimensi yang mengkonfirmasi bahwa realitas dunia luar benar-benar beruntung karena aku ada. Pagi adalah momen sakral, di mana aku dan cerminku melakukan ritual peneguhan. Di luar sana, dunia mungkin baru bangun dari mimpi tanpa kehadiranku. Tapi di sini, di kamar ini, ada kebenaran. Dan kebenaran itu adalah aku.

​"Pagi, dunia," gumamku sambil mengusap daguku. Janggut tipisku, yang sudah kurawat dengan presisi seorang ahli ukir, kini terlihat sempurna. Aku bukan hanya Bayu. Aku adalah Bayu 2.0, versi terbaik yang pernah ada. 

Cermin ini sangat mengerti. Ia tidak pernah mendebat, tidak pernah mengeluh, dan selalu menampilkan apa yang seharusnya ditampilkan, yaitu sebuah mahakarya.

​Keluarga lain mungkin sibuk dengan sarapan, atau mengejar jadwal padat. Tapi aku? Jadwal padatku adalah memastikan penampilanku akan membuat orang lain terpesona. Apakah Alexander Agung pernah memikirkan detail potongan rambutnya sebelum menaklukkan Persia? Mungkin tidak. Tapi itu karena dia tidak punya Instagram. Aku, sebagai penakluk era digital, memiliki tanggung jawab yang jauh lebih berat.

​Pagi ini, aku memutuskan untuk memakai kaus putih polos. Bukan sembarang kaus polos, tapi kaus yang membuatku terlihat seperti lukisan minimalis.

Tiba-tiba, suara Ibu mengetuk pintu. ​"Bayu, sudah jam delapan! Mau sarapan apa? Ibu sudah masak nasi goreng," suara Ibu terdengar seperti suara notifikasi spam yang mengganggu konsentrasiku.

​Aku menghela napas. Nasi goreng? Suatu konsep yang begitu… mainstream. Bayangkan, filsuf seperti aku menyantap nasi goreng. Itu seperti Leonardo da Vinci yang cuma melukis dua gunung yang mengapit matahari yang baru terbit. Tidak ada statement.

​"Sebentar, Bu! Aku sedang dalam proses visualisasi," jawabku dramatis.

​"Visualisasi apa lagi? Buruan, nanti dingin!" balas Ibu.

​"Aku sedang memvisualisasikan bagaimana penampilanku hari ini bisa menginspirasi jutaan orang, Bu. Aku adalah muse bagi semesta," bisikku pada cermin. 

Cermin itu membalas tatapanku, seolah mengangguk setuju.

​Aku akhirnya keluar kamar dengan langkah santai dan percaya diri.

Di meja makan, Ayah sudah siap membaca koran, dan adikku, Rina, sudah sibuk dengan ponselnya. Mereka berdua bahkan tidak menoleh saat aku datang.

​"Pagi," sapaku dengan suara berat, mencoba menirukan narator film dokumenter.

​"Hm," balas Ayah, matanya masih terpaku pada berita politik yang bagiku tidak lebih penting daripada memilih filter foto yang tepat.

​"Eh, udah bangun, Mas?" Rina, adikku yang hobi-nya cuma menggeser jari, akhirnya menoleh. 

"Mas, coba lihat, aku dapat like banyak di postingan kemarin. Lumayan."

Lihat selengkapnya